Rabu, 26 Agustus 2015

The Mondolan Way

Habibie dan ICMI kenduri lagi. "Prasmanan makanan" sejarahnya semakin lengkap. Orang pun semakin pula bertanya-tanya: siapa sebenarnya manusia satu ini?

Ketika bikin ICMI di Malang---dengan mitos "dialog bakda shalat Jumat"---saja orang sudah ribut. Lantas menghijaukan MPR, kemudian kabinet paling gress di-ijoroyoroyo-kan pula. Dan begitu jalan itu kabinet, ia melanglang buana melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membuat dunia menyangka dia adalah Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, atau bahkan Perdana Menteri.

Selanjutnya, belum selesai demam orang banyak oleh pertemuan mesranya dengan Kelompok 50, sekarang dia & Co., nglurug ABRI di markasnya langsung. Sesaat sesudah pertemuan itu Panglima Tertinggi menyatakan dengan tegas namun penuh kelapangan bahwa perjumpaan itu klop semua hasilnya. Langkah-langkah besar teknologi memang diperlukan oleh bangsa kita, dan kaum pintar Muslim memang musti semaksimal mungkin berkiprah---begitu kira-kira kesimpulannya.

Padahal begitu banyak pakar yakin bahwa sejak lahirnya ICMI, apalagi ditambah dengan berbagai maneuver yang menurut kerangka teori pandang para pakar itu merupakan bukti dari keyakinan tersebut---ABRI marah padanya. Kepada Habibie, ICMI serta segala macam baunya. Kalau saya yang marah, siapa pun akan hanya menertawakan. Tapi yang marah adalah ABRI! Orang Madura yang bawa clurit saja lari terbirit-birit.

Dan pada saat yang berhimpitan, Habibie & Co. juga mengangkat secara resmi Bapak Haji Muhammad Soeharto selaku pribadi sebagai tokoh yang berkedudukan paling berwibawa dalam struktur kepengurusannya. Juga sekaligus Pak Try Sutrisno. Padahal---lagi-lagi padahal---konon menurut mereka yang sok ngerti politik Indonesia ada polarisasi elite kekuasaan antara ABRI-Try di satu pihak dan Pak Harto atau semacam Lembaga Kepresidenan di lain pihak. Entah benar dan tidaknya. Tetapi kita para pelanduk, terbiasa untuk bersegera menegas-negaskan sendiri di dalam diri kita kabar tentang polarisasi ini. Pertama karena bangsa kita memang haus-lapar akan segala kemungkinan pertimbangan. Sebab kedua adalah karena saking takutnya.

Impian yang bersemayam terlalu jauh di seberang cakrawala mendorong kita untuk selalu secara spontan mendramatisasikan atau meromantisasikan setiap berita yang terdengar. Dan budaya ketakutan yang terlampau berkepanjangan indekost di dalam jiwa kita membuat setiap letusan mercon banting kita anggap bom nuklir. Sindroma kejiwaan terbesar bangsa kita adalah mitologisasi. Ada sedikit saja berita menggembirakan, kita dengarkan seperti menyongsong datangnya Ratu Adil. Ada sekilas saja isu tentang perbenturan, kita menyimpulkan perang Bharatayudha akan pecah.

Tatkala Habibie mulai "bernyanyi", kita terlalu cepat meremehkan. Dan ketika sekarang nyanyiannya mengandung magi, karena terbukti sanggup merangkuli begitu banyak pihak, gajah-gajah, raksasa-raksasa, berkerumun di seputar nasi tumpeng politiknya: terlalu cepat pula kita kaget dan bertanya: "Apakah Ia seorang tukang sihir? Apakah yang digenggamnya adalah etos pelaut Bugis yang dalam sejarah panjang memasuki berbagai komunitas di berbagai wilayah?"

Saya adalah seekor katak yang hidup di air persawahan dan sungai-sungai nun jauh dari istana para harimau dan gajah. Tapi pada suatu hari gelombang banjir menyeret saya untuk sempat berurusan dengan The Giant Habibie.

Melalui proses yang tidak mulus, saya ditaruh di sebuah tempat dalam organisasi kaum cendekiawan yang didirikannya. Hampir semua orang di sekitar saya mencibirkan bibir, tidak hanya kepada organisasi baru itu, namun terlebih-lebih lagi terhadap---kepada---katak liar macam saya yang bersedia masuk wuwu ikan. Kawan-kawan terbukti sangat mencintai saya, sehingga sangat mengkhawatirkan keadaan di tengah arus yang mereka sebut kooptasi atau political recruitment itu.

Kebetulan katak memang bukan pejuang yang gagah perkasa. Karena kekerdilannya, seekor katak hanya berani bersikap demokratis: "Saya belum memiliki bukti apa pun tentang organisasi ini. Mungkin karena saya lemah, maka satu-satunya yang saya bisa lakukan adalah memberikan peluang kepadanya untuk membuktikan diri."

Akhirnya saya hadir di suatu rapat. Saya kemukakan usulan nonpolitis yang menyangkut sebagian warga Kedung Ombo yang nasibnya terkatung-katung. Nasib politiknya, nasib hukumnya, nasib nafkahnya, nasib kemanusiaannya, dan segala macam sisi nasib mereka yang lain. Mbok yao kita membantu pendidikan anak-anak mereka. Syukur kalau juga menolong penghidupan ekonomi mereka sedikit-sedikit.

Pada saat itulah saya menjumpai bahwa mungkin ia seorang gajah. Ia menjawab dengan polos---saya ingat persis kata-kata beliau: "Cendekiawan memang tidak boleh buta huruf terhadap persoalan rakyat. Apalagi cendekiawan Muslim. Kenapa kita hanya membantu nafkah dan pendidikan mereka? Tidak cukup. Kita harus menjadi katalisator penyelesaian problem di Kedung Ombo! Kita bentuk tim khusus. Nanti kita telepon Pak Pangab dan Pak Gubernur!"

Betapa mengagumkan. Semua yang hadir kaget dan takjub. Dan saya kira, hampir semua pengurus organisasi yang hadir saat itu merasa benar-benar sedang mulai belajar memahami siapa sesungguhnya manusia ini. Masalah Kedung Ombo itu tidak main-main. Jenis kasus strukturalnya sih biasa dan rutin: orang diajak membangun, artinya berkorban untuk orang lain yang lebih banyak. Tetapi pendekatannya kurang kultural dan tidak cukup manusiawi. Keadilan negosiasinya tidak dijamin. Singkat cerita: mayoritasnya memilih "mengangguk" daripada nambahi perkara dan bala, sebagian yang lain memilih "menggeleng" dan siap di-make up wajahnya sehingga merah biru dan benjol.

Alhasil saya dimasukkan tim penengah alias katalisator atawa negosiator itu. Mondar-mandir menemui penduduk---yang kemudian terkenal dengan sebutan mbalelo. Menjumpai kawan-kawan dan lembaga-lembaga lain yang menemani penduduk. Bertemu dengan kepala proyek, satu-dua pejabat bahkan Menteri Dalam Negeri.

Kemudian tibalah hari penentuan yang menentukan ketidakmenentuan nasib penduduk "liar" di lereng-lereng bukit pinggiran dam raksasa itu. Kasus ini telah bersentuhan dengan pusatnya pusat kekuasaan, yang terjal, yang membuat tak ada sesuatu pun yang engkau bisa lakukan secara politis maupun hukum. Pada momentum itulah saya menjumpai bahwa di depan makhluk tertentu, Habibie is no longer a giant.

Saya sedih akan akhir Kedung Ombo. Saya tersadarkan Habibie adalah manusia biasa. Dan sejak itu padamlah apa yang disebut katalisator penyelesaian problem, tim khusus, negosiator.

Apa yang kami---dari Yogya---bisa lakukan hari-hari ini hanyalah sesekali membantu nafkah sehari-hari penduduk sisa itu, mencarikan beasiswa untuk sekolah anak-anak mereka, mengusahakan pembelian alat produksi hidup kecil-kecilan, mengupayakan pendirian mushalla mini, serta satu-dua tegur sapa kemanusiaan yang lain.

Untuk apa gerangan hal ini saya kisahkan? Pertama, betapa indahnya kalau sesepuh yang paling berwibawa, yang kini telah menjadi warga sangat terhormat dan resmi di organisasi ini, memberi saran dan nasihat bagaimana mencoba lagi peran mulia itu. Betapa manisnya kalau organisasi raksasa ini barang lima menit ingat janjinya meskipun hanya menyangkut persoalan yang sedemikian "kecil" kayak slilit Cendekiawan Muslim memahami persis bahwa Allah lâ yastahî an yadhriba matsalan mâ ba'ûdhah. Allah tidak merasa malu menciptakan makhluk-makhluk sekecil serangga. Juga pasti tidak pakewuh untuk menagih slilit itu kepada Al-Habib, yang dicintainya.

Kedua, kalau ternyata dalam formasi yang secara teoretis sesungguhnya ideal semacam itu ternyata tak juga mungkin engkau bisa laksanakan pelunasan slilit---hendaknya engkau ingat filosofi blangkon, khususnya gaya Yogya, yang substansinya terletak pada mandolan, yakni gumpalan bulat di bagian belakang peci Jawa itu. Juga perhatikan keris orang Jawa yang diselipkan tidak di depan perut, atau di pinggang samping, melainkan di belakang punggung.

Saya tidak berbicara tentang siapa atau siapa. Ini refleksi kultur. Klop dan tidak klop, bagi budaya Jawa, ada bedanya. Justru klop dan tidak klop malah bisa sama. Orang Jawa, atau orang mana pun yang Njowo atau sekurang-kurangnya sedang bermain dalam atmosfer Jawa, punya kesanggupan untuk tidak setuju dengan cara mengangguk.

Jawa sehari-hari saja bisa begitu. Apalagi Jawa politik. Terlebih-lebih Jawa elite politik: "Engkau dan aku saling mengincar di dalam satu selimut."[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar