Sabtu, 01 Agustus 2015

Politik Islam, Politik 'Batu Hitam'

Sejumlah 'kaum oposan'---sekurang-kurangnya, orang-orang yang sampai saat ini bertahan memelihara di dalam dirinya gagasan-gagasan oposisi---di Indonesia saat ini, suka iseng-iseng menggali identifikasi kesejarahan masa kini ke realitas masa silam.

Itu mungkin karena mereka selalu memiliki kebutuhan untuk memperbaharui persepsi: yakni mencari plesetan-plesetan dari masa silam justru untuk menemukan sosok realitas zaman kekiniannya. Atau mungkin juga karena tidak ada ruang dan waktu selain hanya untuk menggagas-gagas dan bercengkerama menghibur diri.

Misalnya, sebagian 'oposan' yang memakai frame berpikir tentang kekuasaan 'murni', cenderung selalu menyebut Ken Arok, tokoh Kerajaan Singosari.

Ken Arok, seorang anak desa, yang karier politiknya direkayasa oleh gurunya melalui tahap-tahap yang 'profesional' seperti yang juga dikenal pada sejarah kekuasaan modern. Pertama menumbuhkan modal-modal dan kekuatan berpolitik. Kemudian menyentuh lingkar pusat kekuasaan di 'provinsi' Tumapel yang merupakan nukleus dari kosmos kekuasaan Kerajaan Singosari, sambil mengincar Ken Dedes, jantung hati sang penguasa untuk suatu kemungkinan rekruitmen. Ia berkoalisi dengan Empu Gandring, asset kekuatan militer yang paling sakti dalam pengertian mistis-tradisional di zaman itu, untuk kemudian 'memegang dan memakainya'.

Ken Arok sudah siap segala-galanya. Sehingga ketika momentumnya tiba, keris Gandring yang ia pesan---meskipun masih prematur---ia pakai untuk menumpas pembuatnya sendiri, lantas untuk menikam Tunggul Ametung sang penguasa. Direngkuhnya kekuasaan Tumapel, ditegaskannya kekuasaan Singosari yang besar, serta dinikmatinya Ken Dedes yang sintal.

Tentu saja, sebagian dari 'kaum oposan' itu, lebih sibuk membayangkan kayak apa sih sesungguhnya Ken Dedes itu. Bagaimana tipologi keindahan tubuhnya, ciri kepribadiannya sebagai Ratu, serta katuranggan keperempuanannya. Apakah potongannya seperti gitar, mandolin ataukah cello: perlu ada historical clearance.

Namun pertanyaan dan kegelisahan yang utama di kalangan para penggagas Ken Arok ialah: Siapa kelak Anusapati yang akan membuat Ken Arok tumpas. Apakah Anusapati adalah sebuah figur, suatu Joko Piningit alias The Hidden Master, ataukah suatu kekuatan sejarah yang impersonal. Terserah bagaimana pola dan bentuk peralihan kekuasaannya, namun yang penting kapan 'keris' itu diperankan lagi untuk suatu suksesi sejarah.

Sementara sebagian 'oposan' yang berpikir melalui dikotomi antara kekuatan Islam dengan kekuasaan Negara, menyebut bahwa nasib Empu Gandring menjelaskan sebagian dari nasib kekuatan politik Islam.

Empu Gandring didatangi, dimintai tolong membuat keris sakti, untuk kemudian ditumpas sendiri.

Maka sebagai 'oposan' kalangan Islam lantas berpikir bahwa memerankan Ken Arok adalah sebuah kemungkinan. Islam punya banyak Empu Gandring, tapi ketimbang jadi Gandring mendingan jadi Ken Arok, meskipun harus mengorbankan satu dua Gandring---dalam bentuk figur, kelompok, pemikiran, atau asset-asset lainnya---yang diambil dari dalam dirinya sendiri.

Ken Arok 'Islam' masuk sekitar balairung istana dan menghijaukan tamannya. Tunggul Ametung atau potensi-potensi Tunggul Ametung harus out, Gandring harus berkorban. Yang penting Ken Arok yang ini tidak terlalu kelihatan berangasan, namun bercitra nasionalis dan penuh perangai rahmatan lil âlamîn. Dan adalah wajar kalau sebagian anggota rombongan Ken Arok yang ini berobsesi menjadi menteri, adipati atau tumenggung di Kerajaan Singosari.

Tetapi sebagian 'oposan' Islam berpikir lebih tepat untuk tidak mengulangi ketololan dan kepolosan Ki Ageng Mangir, yang kepalanya pecah karena dibenturkan di batu hitam oleh Panembahan Senopati, mertuanya sendiri.

Jangankan kepala pecah. Geger otak pun jangan terus diulang-ulang oleh kekuatan politik Islam.

Panembahan Senopati tidak bisa mengalahkan Ki Ageng Mangir---tokoh Mangiran yang tidak bersedia 'berintegrasi' dengan Mataram itu---secara jantan. Maka harus ditempuh suatu cara lain: psikologis-kultural. Si Mangir diambil sebagai menantu, dikawinkan dengan Pembayun, putrinya. Dan kemudian pecahlah kepalanya.

Ketika kekuasaan beralih dari Pajang ke Mataram, politik Islam dimarginalisasikan. Ki Juru Martani si strategi ulung di belakang Panembahan Senopati, menggeser legitimasi spiritual atas kekuasaan kerajaan dari para Wali ke rekayasa mitologi Nyi Roro Kidul.

Mistisisme Jawa menjadi setting utama perpolitikan Mataram, sejak era tradisional hingga yang paling kontemporer. Andalan kultural mistisisme itu adalah eufemisme dan klenik atau takhayul. Artinya, Nyi Roro Kidul bisa disebut apa saja, juga bisa meminjam nama asing dari para sosiolog Barat, sepanjang fungsi mistis-politisnya oke punya.

Bagi manusia Jawa, kata lebih berdomisili di dalam konotasi dibanding dalam denotasi. Apa saja bisa dipelesetkan. Tidak hanya makna bahasa, tapi bahkan realitas objektif dan realitas subjektif pun bisa dimanipulasikan. Melalui takhayul, klenik, retorika, perlambang-perlambang, orang Jawa bisa diajak untuk bukan saja makan ketela pohon, melainkan juga untuk merasa dan sungguh-sungguh percaya bahwa yang ia makan bukanlah ketela pohon, melainkan hamburger atau pizza rasa Asia.

Para 'oposan' Islam itu menggagas bahwa kekuasaan harus dimanifestasikan tidak hanya melalui perjuangan kultural yang menyadarkan rakyat bahwa sesungguhnya yang mereka makan itu ketela pohon, melainkan harus juga melalui hardware kekuasaan formal praktis. Jangan sampai Ki Ageng Mangir-Ki Ageng Mangir orde kontemporer sekadar gampang 'diambil menantu', dimanfaatkan kekuatannya, dieksploitir asset-asset-nya, silau oleh wanita Pembayun, harta dan rasa aristokrasi, untuk kemudian dipecah kepalanya di batu hitam gara-gara terlalu menunduk.

Yang menjadi permasalahan, apakah 'menantu Mataram' itu oposan sejarah, ataukah semacam KNIL.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar