Jumat, 28 Agustus 2015

Orkestra Dewata

Pada hari-hari berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, dengan penuh kekhusyukan saya---melalui sebuah koran di Jawa Timur tempat kelahiran raksasa dwimuka, atau trimuka atau bahkan mungkin dasamuka---antara lain mengusulkan satu hal: "Mestinya IMCI bukan ICMI. Kayaknya yang lebih tepat itu Muslim Cendekiawan, bukan cendekiawan Muslim."

Ampun-ampun terlebih dahulu kalau saya sampai pakai istilah dasamuka, bukanlah saya mengidentifikasikan ICMI dengan Prabu Rahwana yang bermuka sepuluh. Ini sekadar ketidaksanggupan orang pinggiran macam saya untuk memotret wajah dewa-dewa. Kalau NU kembali ke khittahnya dan menyatakan diri untuk berpolitik, seorang sahabat sesama orang pinggiran berbisik: "Politik NU paling baku adalah berpolitik. Artinya menghindarkan keterkaitan aktivitas politik praktis orang-orang NU dengan formalitas nama NU. Memang berbeda antara NU secara institusional berpolitik dengan secara organisasional tidak berpolitik. Tapi yaaah, …that's politic. Secara esensial, apa bedanya. Sekadar taktik atau strateginya saja yang berbeda. Sikap tak berpolitik adalah sebuah tarikan politik juga. Dan itu bukan dosa. Pertama, bahkan kalau tangan kanan kita melakukan amal kebaikan, tangan kiri harus dipolitiki untuk jangan sampai tahu, agar tangan kanan terhindar dari riya dan pahalanya maksimal. Kedua, karena memang demikianlah politik."

Tapi, dengan demikian, dari sisi manakah kamera itu memotret NU? Persis dari angle manakah potret ICMI yang paling mewakili karakter dan kehendak hatinya? Berpolitik ICMI? Kita bisa menjawab dengan berbagai cara. Kalau orang menuding: jelas ICMI berorientasi pada kekuasaan, sehingga jelas pula ia sesungguhnya berpolitik!---kita bisa menggunakan gaya eufimisme: itu bukan politik, itu sekadar hak dan kewajiban setiap warga negara untuk bersikap partisipatif terhadap derap langkah pembangunan dan kemajuan seluruh bangsa ini. Apa yang dilakukan ICMI tak lebih dari pengabdian untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Harus dalam kerangka itulah ICMI dipahami.

Sekali lagi: that's politic, dalam arti apa pun dan mana pun.

Kemudian mengertilah saya bahwa usulan saya mengenai ICMI dan IMCI itu adalah senaif-naifnya usulan, sebodoh-bodoh hati orang kecil yang memang hanya mengenal matahari terbit sebagai matahari terbit dan memahami angin berhembus semata-mata sebagai angin berhembus. Itulah naluri wong cilik. Itulah hati petani yang kejiwaannya memang dipertahankan untuk bersemayam di masa silam di mana manusia masih sebuah keindahan ruhani.

Dengan penuh keyakinan hati dan keluguan pikiran saya mengolah pengetahuan bahwa idiom cendekiawan Muslim itu takabbur: "Lho, saya orang pintar, bagian dari kelompok orang-orang pintar se-Indonesia."

Saya ini cendekiawan, golongan mufakirun, ulul albâb, ulunnua…. Sementara kalau Muslim cendekiawan barangkali berkata dalam hatinya: "Saya sekadar pasrah diri kepada apa pun saja yang dikehendaki Tuhan. Tugas hidup saya hanya satu: menyaring segala kehendak dan perilaku saya, personal maupun sosial agar pas, searah dan seirama dengan sunnah Tuhan, dengan tradisi kehendak-Nya, dan itu adalah satu-satunya jalan keselamatan. Adapun kalau saya menyebut embel-embel cendekiawan, itu sekadar untuk keperluan teknis administratif untuk membedakan saya dengan tukang ojek dan penjaja kue putu, bukan saya memamerkan kepandaian saya dan menegaskan bahwa selain saya bodoh semua, melainkan sekadar terpaksa melembagakan kelompok kami agar bisa lebih mudah me-manage peran sejarah kami untuk kepentingan semua orang."

Keyakinan yang lain menyangkut pertanyaan yang mungkin agak filosofis: siapakah kita? Siapakah aku dan siapakah engkau? Di manakah titik pusat dirimu sebagai subjek? Di otak, di syahwat, ataukah di hati?

Tatkala kita berperilaku melampiaskan, dalam apa pun saja maka titik pusat diri kita adalah syahwat. Industrialisme dan konsumtivisme peradaban yang sedang kita bangun ini menyediakan fasilitas dan dorongan agar kita melampiaskan, alias agar memanjakan syahwat. Baik syahwat seks, syahwat kekuasaan maupun syahwat keserakahan.

Pada umumnya kita percaya bahwa pusat eksistensi manusia ada di otak. Di akal. Aku ada karena aku berpikir. You are what you think you are. Akal, otak, alat raba pengetahuan dan ilmu yang sedemikian lemah, sempit dan terbatas, diproklamirkan menjadi pusat kepemimpinan kemakhlukan manusia. Otak yang tidak sanggup membaca lebih banyak dibanding yang ia sanggup baca dijadikan pusat eksistensi kehidupan. Apakah engkau berkehendak dengan otakmu? Tetapi demikianlah, maka organisasi itu memakai filosofi dan epistemologi yang mengedepankan otak dibanding ruhani. Maka organisasi itu menamakan idiom cendekiawan Muslim. Manusia mereduksi dirinya menjadi hanya segumpal otak, Habibie menolak pengetahuan nabinya sendiri, Muhammad, bahwa segala kesejahteraan dan keselamatan manusia terletak di segumpal daging yang bernama qalb: hati. Nurani. Bayang-bayang ruh Tuhan yang paling transparan.

Tetapi memang demikianlah kebodohanku. ICMI tidak punya urusan dengan itu. ICMI tidak punya tenaga konsentrasi apa pun untuk mempermasalahkan beda antara cendekiawan Muslim dengan Muslim cendekiawan. Tidak penting apakah lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûn ataukah lâ tamûtunna illâ wa antum cendekiwanun---janganlah mati selain dalam kedudukan primer sebagai orang yang berserah diri kepada Tuhanmu. Tetapi engkau akan mati dalam posisi sebagai orang pandai, padahal Tuhan sendiri dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh berfirman bahwa antumul fuqarâ' 'indallâh: engkau itu fakir miskin di hadapan-Nya.

Betapa dungunya saya. Habibie dan ICMI tidak sedang menyatakan perang dan menabuh genderang argumentasi kepada Tuhan dan Nabi-Nya dalam soal makna, nilai, filosofi dan peletakan (maqam) diri, manusia dan kehidupan. ICMI tak ada urusannya dengan itu. ICMI adalah sebuah teknologi sejarah oleh sebuah golongan manusia.

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Ikatan Cendekiawan Kristen Indonesia, Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia, Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia, Ikatan Cendekiawan Abangan Indonesia, Ikatan Cendekiawan Nasionalis Indonesia, Ikatan Cendekiawan Sosialis Indonesia, Ikatan Bukan Cendekiawan Indonesia, Ikatan Cendekiawan Preman Indonesia, Ikatan Orang Dikibuli Indonesia….

Terompet senantiasa bergema dari angkasa pura. Nyanyian-nyanyian abstrak senantiasa dilantunkan dari atas mega-mega. Gendang senantiasa ditabuh bertalu-talu dari ketinggian Jonggring Saloka. Orkestrasi musik-musik surealistik dan abstrak bagi 190 juta kafilah Indonesia namun yang sangat realistik meskipun juga eksperimental bagi penabuh-penabuhnya---senantiasa menggaung dari langit, memenuhi tiga belas ribu pulau-pulau, merajut samudera-samudera di sela-selanya, serta menusuk telinga dan kebingungan hati berjuta-juta orang yang selama berpuluh-puluh tahun bergerak-gerak bagai orang mengigau namun menyimpan diam-diam hatinya dalam kemesraan sunyi dengan Allah.

Orkestrasi hasil karya Dewata tak pernah selesai menggema. Indonesia adalah sebuah konser abadi lagu-lagu abstrak bagi rakyatnya. Para ksatria pemegang alat-alat pengeras suara dibuat tak pernah berhenti dari kesibukan memperkeras dan memperluas jangkauan suara-suara itu. Para ksatria penjaja nyanyian-nyanyian Dewata menangkap suara itu, menggelutinya, menganalisisnya, menelitinya, kemudian memperkeras bunyinya. Mereka menyangka bahwa mereka telah menangkap dan memasukkan suara-suara Dewata itu ke dalam kosmos mereka, padahal sesungguhnya merekalah semua yang ditangkap dan disandera oleh konfigurasi nada dan langgam irama nyanyian-nyanyian itu. Kalau Dewata membunyikan seruling, penjaja suara itu memimpin kafilah 190 juta untuk bermain seruling dengan gagasan dan keterbatasan mereka masing-masing. Kalau Dewata menabuh genderang, kafilah 190 juta dipimpin juga untuk menabuh genderang, meskipun yang mereka tabuh adalah genderang bayangan, meskipun alat tabuh mereka adalah alat tabuh semu, serta meskipun tangan yang mereka pakai untuk menabuh adalah tangan-tangan yang sesungguhnya juga tidak ada.

Terkadang Betara Guru mengadu ke permaisurinya, Betari Durga, dengan Semar alias Betara Ismaya kakaknya. Di saat lain Betara Guru untuk kelanggengan kekuasaan menyelewengkan hak wahyu kepada ksatria yang 'kondusif' dan subordinatif kepada kepentingannya. Di waktu lain Betara Guru berbisik kepada Narada sesuatu hal, lantas memberitahukan Togog sesuatu hal yang lain, sehingga keduanya bertengkar, sehingga Betara Guru memiliki momentum untuk mendamaikan mereka dan menjadi pahlawan. Kemudian ada saat-saat juga Betara Guru menyebarkan wabah ke seantero Marcapada, dan berkata kepada kaum ksatria: bahwa kalau ingin bebas dari wabah, tumbal-nya adalah kematian Bagong. Maka Bagong harus dilenyapkan, harus diberangus, dicekal atau dihentikan langkahnya. Dan yang harus membunuh Bagong jangan ksatria, melainkan harus sesama wong cilik, sesama kaum marginal, misalnya Petruk atau Gareng.

Kafilah 190 juta masuk perangkap nyanyian-nyanyian angkasa pura. Kafilah 190 juta berjoget menari-nari mengikuti irama gendang yang terdengar dari nun jauh di sana. Kafilah 190 juta bergeremang, di saat lain membunyikan koor, mengikuti ritme orkestrasi Dewata. Kalau Dewata meludah, para pedang suara memimpin kafilah 190 juta untuk mengotak-atik air ludah. Kalau Dewata mendemonstrasikan kembang-kembang silat, kafilah 190 juta juga bergerak-gerak bagai pesilat. Mereka memukul, menendang, mereka melakukan jurus jalan panjang, mereka melakukan sempok, mereka melakukan putaran, mereka melakukan tangkisan… yang mereka pukul yang mereka tendang, adalah bayangan-bayangan….[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar