Sabtu, 22 Agustus 2015

Jenderal Tak Pernah Sendiri, Entah Purnawirawan

Ketika saya menerima lembaran kertas yang memaparkan laput tabloid edisi ini, yang nongol di otak saya adalah sejumlah puisi mengenai misteri orgasmus: upacara suci persuami-istrian Anda.

Misteri orgasmus ini ternyata adalah juga misteri pergaulan, misteri komunikasi, misteri pemahaman, yang ujung-ujungnya membuat Anda merasakan betapa menakutkan sesungguhnya untuk hidup bersama; meskipun pada saat yang sama Anda rasakan juga betapa mengerikan hidup sendirian.

Upacara persuamiistrian itu kita sebut persetubuhan. Persatu-tubuhan: dua tubuh menjadi satu. Secara romantik bahkan sesekali kita sebut persehatian atau persenyawaan: dua hati, dua nyawa, menyatu. Persetubuhan itu kita laksanakan dengan menanggalkan hampir semua tembok kultur. Tidak ada pakaian, juga hampir tidak ada batasan-batasan yang, saat kita melakukan persetubuhan itu, berlaku di luar bilik kita yang pintu, jendela, kordennya kita tutup rapat-rapat. Kita dan istri atau suami kita bisa mengucapkan hal-hal yang kalau di depan orang lain haram, tak boleh atau tabu untuk diucapkan.

Persetubuhan adalah sebuah situasi setelanjang-telanjangnya. Segala sesuatunya kita perlihatkan dan memperlihatkan diri kepada kita. Namun toh diam-diam kita sadari bahwa dari 'diri' kita serta dari diri istri atau suami kita, masih lebih banyak yang tertutup tembok-tembok misteri dibanding yang tampak.

"Apakah ketika istriku itu melenguh dengan mata setengah terpejam sungguh-sungguh hanya aku yang bersemayam di hatinya? Apakah tatkala ia mendesahkan kata 'Mas!', benar-benar aku yang dimaksudkannya?" sesekali Anda, juga istri Anda, menyimpan pertanyaan demikian di tengah upacara suci prasyarat utama berlangsungnya sejarah itu.

Kita mencoba membereskan misteri itu dengan fenomena yang bernama kepercayaan. Kesalingpercayaan antara suami-istri. Tetapi bukankah engkau mengerti dan mengalami sendiri betapa kepercayaan sangat bersifat relatif dan bergelombang-gelombang: kadang muncul kadang tenggelam?

Yang barangkali paling misterius adalah tatkala orgasmus itu berlangsung. Itu adalah momentum puncak kebahagiaan beberapa saat dalam kehidupan suami-istri. Tapi bisakah kalian sungguh-sungguh bersatu dalam orgasmus? Yang engkau rasakan adalah puncak perasaanmu sendiri, dan yang istrimu rasakan adalah perasaannya sendiri. Engkau tidak bisa mendobrak tembok itu: mustahil engkau rasakan rasa orgasme istrimu. Sejauh-jauh yang engkau bisa jangkau adalah "berempati kepada yang dirasakannya", atau "ikut mencoba merasakan yang dirasakannya". Tetapi itu sekadar sebuah retorika. Pada hakikatnya engkau hanya sanggup merasakan yang engkau sendiri rasakan.

Di puncak perasaan yang kita 'paksa' untuk kita anggap kebahagiaan bersama itu justru amat terasa kesendirianmu dan kesendirianku. Di dalam bilik pribadi, di mana engkau saling polos dan terbuka total, sesungguhnya terkandung banyak informasi yang buntu untuk sampai pada pemahamanmu.

Muatan utama kehidupan ini ternyata adalah tembok-tembok.

Ilmu pengetahuan, sejak kurun ketika masih bermuarakan instink sampai yang post-post-post-modern, sampai tingkat tertentu, sebenarnya adalah omong kosong yang dibesar-besarkan dan diyakin-yakini agar tidak terlalu terasa sia-sia. Kerangka-kerangka teori, jenis-jenis metodologi pelacakan realitas, isme-isme yang bertarung, ilmu, ngelmu, makrifat, kaifiyah---adalah upaya-upaya yang memang terpuji dari umat manusia untuk mengenali dirinya sendiri. Tetapi pengetahuan yang tertinggi tentang kenyataan hidup adalah relativitas, dan ilmu yang paling puncak adalah kerendahan hati.

Kalau atas istrimu sendiri sesungguhnya engkau mengalami keasingan yang tak kunjung terjawab, apa yang engkau bisa laporkan padaku mengenai Jenderal Pendekar yang bernama Benny Moerdani? Sebuah 'suara' yang hanya engkau dengarkan dari kejauhan, melalui pembiasan dan deviasi alamiah, kultural dan politis?

Tapi justru karena itulah engkau harus mengatakan sebanyak mungkin hal-hal yang engkau 'ketahui' tentang Jenderal Benny kepadaku. Justru karena sangkaan-sangkaanmu tentang peta elite kekuasaan di mana para 'Senopati' dan 'Tumenggung' bergulat itu ternyata banyak meleset. Maka engkau harus memacu lebih keras upayamu untuk menyelinap ke balik dinding-dinding misteri yang secara rasional seakan-akan mustahil terjangkau. Sekurang-kurangnya engkau tidak kularang untuk menyodorkan hasil "pemotretan dari balik tembok", sebab aku tahu engkau memerlukan seribu kartu---yang mungkin tak engkau miliki---untuk melompat ke balik tembok itu.

"Iqra'!" kata Tuhan. Dan pintu harus dibuka. Pintu apa pun dalam hidup ini. Tabir harus dikuakkan. Korden harus digeser ke tepian. Bungkus-bungkus harus diurai. Tali harus dilepaskan. Apalagi dibukanya tabir-tabir itu merupakan hak bersama kita semua dengan puluhan juta orang. Kalau terdapat kekeliruan dalam usahamu itu, kita semua siap untuk saling mengoreksi, meminta maaf dan memaafkan. Pengembaraan hidup ini sendiri hakikatnya adalah "melacak dan membuka tabir rahasia tuhan": sampai habis usia dan sejarah kita akan gagal melakukannya, sehingga akhirnya Ia sendiri yang akan menguakkan tabir-Nya.

Engkau mengetuk pintu dan menggedor-gedor tembok, dengan tanganmu yang lemah, sambil meneriakkan sejumlah pertanyaan: "Apa Benny sekarang disingkirkan? Kalau benar, siapa lagi yang menurut logika kekuasaan hari ini memiliki kesanggupan dan otoritas untuk menyingkirkannya? Bisakah engkau sebut lebih dari satu nama?"

Seseorang yang sedang berjaga di pintu, mungkin menyahut: "Tidak! Siapa bilang begitu?" Atau, "Aduh, kenapa sih tanya yang begitu-begitu? Ini kita sedang membenahi segala sesuatu di atas agar lokomotif kereta kita lebih tertata dan safe untuk perjalanan yang masih sangat panjang!"

Atau apa pun jawabannya, engkau akan tetap termangu-mangu, karena engkau tidak menggenggam di tanganmu patokan apa pun untuk menentukan benar-tidaknya sesuatu yang engkau tanyakan. Engkau hanya menjalani edisi demi edisi spekulasi, persis sebagaimana hakiki hidup ini sendiri. Tapi engkau harus tetap bertanya, dan engkau bukanlah Musa yang pingsan di puncak Tursina karena yang ia pertanyakan adalah wujud material Tuhan. Tidak. Yang engkau pertanyakan bukanlah Tuhan. Maka engkau berhak bertanya, bahkan wajib bertanya, mengenai kekuatan-kekuatan yang sesungguhnya menentukan bangun tidurmu.

"Kenapa ia disingkirkan? Atau: kenapa ia menyingkirkan Benny? Apakah karena ia "tidak berwarna hijau" di saat "dua hijau" sedang saling merasa perlu untuk menyatukan langkah? Apakah ia dituding sebagai biang penyingkiran "hijau tertentu" di lembar-lembar sejarah kemarin?"

"Apa yang sesungguhnya terjadi dengan "hijau" ini? Adakah "hijau" sedang berkuasa, ataukah pertama-tama harus kita teliti betapa ada "banyak hijau"---misalnya, ini adalah koalisi antara "ijo pupus" dengan "ijo politik kanan" untuk antara lain menyingkirkan "ijo mateng"? Analog, umpamanya, dengan persetujuan baru politik kanan internasional dengan ijo pupus Arafat-PLO sehingga pada saatnya nanti nada sumbang dari Palestina-Hammas-Intifadhah akan legitimized untuk ditumpas?"

"Apakah Benny sedang berada pada posisi strategis untuk dikambinghitamkan sebagai pemimpin ijo, dan pengkambinghitaman ini politically profitable untuk koalisi dua ijo tersebut, meskipun---jika benar dia penumpas---yang ditumpas toh adalah ijo mateng, yang notabene juga dianggap 'musuh' oleh koalisi dua hijau di atas?"

"Bukankah tidak ada Jenderal yang sendiri? Bukankah Jenderal adalah sebuah fungsi dalam keseluruhan mesin yang bernama organisasi militer? Apakah pengambinghitaman itu berlangsung karena Benny bukanlah Jenderal melainkan Purnawirawan?"

Jawaban yang paling praktis dan benar atas semua pertanyaan itu adalah: Wallâhu a'lamu bish-shawâb.

Tetapi engkau harus terus bertanya, sebagaimana persuamiistrianmu engkau pelihara dengan pertanyaan-pertanyaan rutin: "Do you really love me, Dear?"

Istrimu menjawab: "Mâsyâ Allah… I do really love you!"

Otakmu, akalmu, pikiranmu tidak akan pernah sanggup mengejar jawaban objektif atas pertanyaan itu, padahal pikiran hanya mampu menerima objektivitas. Akhirnya engkau mengatasinya dengan subjektivisme, dan itulah nyawa cinta. Subjektivisme itu bernama kepercayaan. Akal pikiran: berhentilah engkau di terminal itu, sebab engkau tak akan pernah sanggup memahami cinta, dan terminal-terminal di hadapan kami adalah cinta.

Permasalahannya adalah, jika persuamiistrian yang kita jalani adalah pergesekan, perjanjian dan komitmen dalam lingkup nilai hidup yang bernama politik, bahkan politik besar, atau dagang, bahkan dagang besar: di manakah tempat dan kapankah waktu terjumpai untuk menyediakan kepada kita cinta dan kepercayaan atau yang bisa kita serahi cinta dan kepercayaan? Bukankah sistem besar dalam bernegara, berniaga, berkehidupan, bersama global semacam ini---disusun dengan pengandaian dasar bahwa manusia sesungguhnya saling tak bisa dipercaya? Sehingga rambu-rambu harus dipatokkan sedemikian rupa?

Yang paling susah dan lemah adalah engkau-engkau yang tak punya kuasa untuk memasang rambu dan hanya memiliki leher yang dikalungi tali sehingga hanya beberapa meter saja boleh melangkah dari kayu patok di mana tadi leher kita diikatkan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar