Marilah mengaku saja bahwa pusat perhatian kita adalah Raja-Raja. Marilah tak usah menutup-nutupi bahwa kecenderungan utama historical kita adalah memajang Raja-Raja di layar psikologi kebudayaan kita; baik terpateri di benak kita masing-masing maupun yang terungkap di panggung-panggung komunitas sosial kita.
Kalau ada pemilihan Kadus atau Kades, yang kita pikirkan bukan bagaimana sejarah dusun-desa kita dulu, sekarang dan besok, melainkan iseng-iseng mempergunjingkan siapa calon yang didukung dan yang akan kita campakkan; apa latar belakangnya, famili kita atau bukan, bolo-nya siapa; kemudian gagasan yang paling serius adalah keuntungan apa yang kira-kira akan kita dapatkan kalau yang kita pilih adalah ini atau itu.
Sebagai penduduk desa yang sudah mengenyam beribu ragam pengalaman, peristiwa pemilihan Kades sebaiknya tidak lagi kita gagas sebagai peristiwa pembangunan hidup bersama. Juga tidak dengan konsep kesadaran 'kenegarawanan' dan kepemimpinan. Pemilihan Kades adalah sebuah lahan kapitalisme pribadi-pribadi.
Seorang calon lurah yang gagal mengeluh kepada saya: "Penduduk desa saya sudah semakin cerdas. Pembagian rezeki dari semua calon mereka terima, dan kepada setiap calon yang bertamu dan bertanya 'Siapa lurah yang cocok di hati bapak?' mereka menjawab 'Ah, siapa lagi kalau bukan sampeyan!'. Kemudian salah seorang calon ternyata sama sekali tidak menyogok penduduk. Ia hanya memegang salah seorang political brooker, mengatakan bahwa ia bertaruh sekian puluh juta dengan seseorang. Kalau dia memenangkan pemilihan, silakan ambil uang kemenangan itu dan bagi-bagikan kepada penduduk yang mencoblosnya. Maka penduduk berbondong-bondong memilihnya, karena sesudah memperoleh suguhan dari calon lain, dari hasil taruhan ini mereka mendapatkan sejumlah uang besar lagi."
Menjadi pejabat adalah peristiwa politik perekonomian pribadi. Maka penduduk desa, dengan naluri dan pengalamannya, tidak lagi dengan naif menggagasnya sebagai kasus kepemimpinan untuk kemajuan. Karena mereka memang dikapitalisasikan, dan mereka pun mengkapitalisasikan segala kemungkinan dalam proses pemilihan Kades untuk keuntungan lokal mereka masing-masing.
Setiap penduduk merasa harus mampu menjadi raja kecil di wilayah persentuhan hidupnya masing-masing, dengan melihat calon Kades sebagai kapital dari politik perekonomian pribadi mereka. Penduduk tidak lagi meneruskan sikap romantik tentang kepemimpinan dan kebersamaan, karena 'kebaikan' semacam itu selalu merupakan nasib buruk yang bodoh. Kata seorang seniman, kebodohan memang adalah kebaikan yang bernasib buruk. Sementara kepandaian, sesungguhnya adalah kecurangan yang menyamar, atau kelicikan yang mencopet wajah kebaikan untuk dijadikan topengnya.
Kemudian PDI berkongres, Golkar menapaki tahap regenerasi kepemimpinan baru di semua lapisannya. Anak-anak 'Raja' berkiprah di panggung politik. Tema yang transparan dari semua itu adalah bursa calon-calon ketua atau bisakah Pangeran atau Prince-X atau Prince-Y menjadi Tumenggung atau Senopati. Tema yang implisit dan tersembunyi di balik tabir adalah pergolakan dahsyat politik perekonomian, tender-tender kekuasaan untuk ekonomisasi.
Masyarakat menikmati kenduri dan tumpengan nasional dengan menu isu tentang Raja-Raja dan Pangeran-Pangeran atau calon-calonnya; media massa menjadi permrakarsa dan panitia kenduri nasional ini. Kepanitiaan yang berjargon "man make news" ini menerjemahkan 'man' menjadi terutama Raja-Raja dan Pangeran-Pangeran, bukan manusia-manusia. Koran-koran selalu sibuk mengajak masyarakat bergunjing tentang calon-calon tokoh utama di setiap level, seolah-olah ketua berganti makna segala sesuatunya juga akan berubah secara mendasar. Seakan-akan ada kemungkinan yang sedemikian pentingnya yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pergantian 'raja'.
Bagi khalayak ramai, pergunjingan tentang calon-calon 'raja', merupakan peristiwa psikologis, dan itu hampir tidak ada kaitannya dengan apa yang sesungguhnya dimaknakan oleh kata 'politik' dan 'ekonomi' pada asilnya. Pada sisi yang paling kelam, itu sesungguhnya adalah kanibalisme psikologis: kita berkeliling di 'meja makan' kebudayaan yang padanya tersuguhkan segala bahan pergunjingan tentang apa saja yang menyangkut Raja-Raja dan Pangeran-Pangeran. Kita terkadang muak tetapi tetap mengenyamnya bersama-sama, beramai-ramai. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, penderitaan orang lain sering kali merupakan snack yang enak sebagai nyamikan di beranda rumah, di gardu atau pojok pasar dan warung-warung kopi.
Bagi industri informasi, segala kemungkinan 'isi meja makan kebudayaan' itu senantiasa dieksplor sedemikian rupa sebagai komoditi yang boleh dibilang utama.
Tidak penting apa hubungan PDI dengan Soerjadi dengan budaya politik nasional dengan peran konkret Parpol terhadap proses penyejahteraan bangsa. Yang penting dan menjadi 'hamparan kacang godog di tampah kebudayaan' kita adalah pertunjukan darah di jidad Alex, gamangnya air muka Soerjadi, beserta jab-jab, swing, uppercut atau mungkin sliding tackle di antara mereka. Bahkan bagi rakyat banyak tidak penting apakah kaitan Golkar selama ini dengan asap dapur mereka atau dengan hati dan pikiran mereka, karena yang terasa lebih gurih adalah kuis teka-teki Harmoko dan Soesilo Soedarman, tak peduli siapa mereka, dan apa yang pernah mereka lakukan. Juga tidak penting apa hubungannya antara tampilnya para pangeran di panggung politik dengan nasib kita sendiri beserta puluhan juta saudara-saudara sebangsa dan setanah air, karena yang lebih mengasyikkan adalah rumbai-rumbai romantik performance mereka di panggung.
Sesungguhnya terhadap hampir seluruh peristiwa elite di panggung negeri ini, kita tidaklah terutama sedang mempergaulkan kreativitas kebangsaan dan sejarah secara mendasar, melainkan sedang menikmati tontonan Ketoprak dan Wayang.
Yang saya maksud dengan dunia wayang dalam konteks ini bukan terutama pada fungsi dalang atas wayang, yang dalam bahasa politik sehari-hari kita sebut 'rekayasa', mekanisme 'top down' dan lain sebagainya. Melainkan bahwa dalam kosmos seni budaya wayang, tokohnya bukanlah manusia, sementara rakyat selalu anonim dan dianggap tidak memiliki kehendak atau apalagi kedaulatan. Wayang adalah kisah mengasyikkan mengenai raja-raja, ksatria-ksatria, dan dewi-dewi. Pelaku terbanyak dalam wayang adalah prajurit. Namun mereka bukan saja bukan tokoh: mereka bahkan bukan manusia, mereka adalah prajurit. Ada skala dan konsentrasi nilai yang amat berbeda antara manusia dengan prajurit.
Jika Anda adalah pelaku kisah wayang, sesekali mungkin Anda dan saya memiliki sebutan: umpamanya Togog. Kakak sulung Kiai Semar dan Bhatara Guru ini memiliki peran sejarah yang unik dan mengesalkan, persis seperti Anda. Yakni khususnya mengikuti perjalanan Tuan-Tuan yang memiliki kecenderungan untuk jahat dan curang. Pekerjaan utama Togog adalah mengingatkan Tuannya tentang mana yang benar dan mana yang salah.
Togog selalu melontarkan kritik, namun hanya ditampung tanpa pernah dipercayai atau dituruti. Atau, Togog adalah pemeran yang selalu tidak pernah dianggap penting dan tak pernah dipatuhi anjuran-anjurannya, namun ia terus mengungkapkan kritik-kritik.
Togog adalah satu-satunya nama Anda, meskipun jumlah Anda 180 juta. Kapan pun saja Anda bernama Togog, di zaman apa pun Anda bernama Togog, pada orde paling kuno hingga orde post-mo Anda bernama Togog. Raja Anda berganti-ganti, dari Prabu Rama dalam Ramayana hingga Puntadewa dalam Mahabharata sampai Parikesit di kurun pasca Bharatayuda, dan Anda tetap bernama Togog. Bapak-Ibu Anda bernama Togog, keponakan dan anak turun Anda bernama Togog. Pekerjaan utama Anda adalah menerima apa saja kehendak dan keputusan para raja yang menguasai Anda, sambil melontarkan kritik tanpa pernah sungguh-sungguh diperhatikan. Dan hobi permanen Anda dari zaman ke zaman adalah menikmati kisah perjalanan raja-raja, sampai hari ini, saat Anda membolak-balik halaman buku ini.
Kalau dalam dunia Ketoprak, nama kita adalah bolo dhupakan: pemeran-pemeran figuran yang jumlahnya lebih banyak dari pemeran utama, namun tugas utamanya adalah didhupak-dhupak alias ditendang-tendang. Yang ditendang terkadang dahi dan punggung kita, atau yang rutin adalah gagasan-gagasan kita mengenai bagaimana lakon ketoprak itu mestinya berlangsung.
Pada saat yang sama sesungguhnya kita jugalah sinden-sinden pelaku keindahan yang mendendangkan legenda dan segala jenis nyanyian tentang raja-raja dan pangeran-pangeran: peran berdendang barangkali bukanlah tergolong nasib yang terlalu buruk.
Tetapi yang harus dengan saksama kita catat adalah betapa tradisi pemusatan perhatian terhadap raja-raja dan pangeran-pangeran memiliki akibat sejarah yang tidak sederhana. Kalau dalam kesempatan bincang-bincang serius Anda tiba-tiba pada tema---umpamanya---ketidaksiapan masyarakat untuk mengerjakan demokrasi dan membangun komunitas egalitarian, proses kualifikasi kepemimpinan yang selalu kembali terjebak pada patrimonalisme dan khususnya budaya monarchy, mekanisme regenerasi terantuk-antuk oleh bebatuan feodalisme, dan lain sebagainya---percayalah itu karena kita memang masih bersemayam di era wayang, orde ketoprak, dan nama Anda adalah Togog.
Kita membutuhkan kesempatan khusus untuk menguraikan itu. Namun, yang jelas, ke-Togog-an adalah posisi dan situasi floating mass yang mengaktualisasikan dirinya melalui bentuk-bentuk sub-ordinasi kultural yang cengeng dan tak berdaya, meskipun itu juga bisa berarti ketabahan, ketahanan dan kesabaran. Berabad-abad Togog bertepuk tangan menyaksikan lagu puja-puji bagi raja-raja dan pangeran-pangeran yang berkuasa sehingga kaya, yang kaya sehingga berkuasa.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar