Senin, 10 Agustus 2015

Presiden Nonformal

Bagaikan mitraliur, ludah dan kata-kata Kiai Sudrun menyerbuku:

"Ngapain kamu ribut-ribut soal suksesi atau 'suksesi'? Ngapain enerji hidupmu kamu habis-habiskan minggu-minggu ini untuk mengkais-kais tembung jare---bahwa katanya kemenangan mutlak Harmoko menjadi Ketua Golkar akan terkait dengan kemungkinan naiknya Habibie jadi presiden kelak!

Bahwa katanya jalur elite kekuatan hijau ini berderak-derak sedemikian rupa, menggenggam tongkat azimat kepemimpinan masa depan negeri ini? Bahwa karena itu jalur yang lain, meskipun warnanya sama, sengaja ambil jarak ke belakang satu-dua langkah, sengaja 'melepas ronde ini' untuk suatu anti klimaks pada ronde-ronde berikutnya?

"Bahwa katanya, seandainya pun benar demikian, atau jika itu sekadar 'obsesi oknum', akan tidak segampang itu dilangsungkan? Bukan saja karena cukup banyak kekuatan-kekuatan lain di negeri ini yang tak menghendakinya, tetapi juga karena logika ini: bahwa 'jago' yang tidak memiliki posisi dan kekuatan strategis untuk sanggup mengamankan dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa dipercaya untuk mengamankan pihak yang menjagokannya?

"Bahwa katanya, karena itu, segala sesuatunya akan kembali kepada kemapanan yang sama sebelumnya, yang di singgasana akan tidak tergantikan oleh siapa-siapa, sekurang-kurangnya sampai 3-4 tahun mendatang? Bahwa katanya, bahwa katanya, bahwa katanya…"

"Aku bertanya kepadamu: Apa pedulimu dengan itu semua? Siapa pun yang sedang berlaga, siapa pun yang memenangkan pergulatan, serta siapa pun yang menandu dan ditandu, siapa pun yang menggantikan siapa pun---apa jaminannya terhadap kedaulatan rakyat? Apa relevansinya dengan keadilan sosial dan hak asasi? Apa garansinya terhadap kesejahteraan merata seluruh bangsa kita? Aku capek!... Mending kamu kirim al-fâtihah buat korban Nipah dan mempersiapkan tahlilan 40 hari kematian mereka! Itu sangat penting, karena Golkar yang sedang ber-Munas saja tidak ingat. Lenyapnya nyawa-nyawa rakyat tidak penting bagi partai politik Rakyat!"

Terus terang saya selalu tidak begitu siap menerima kehadiran Sudrun, yang memang selalu sangat mendadak.

Sudrun hadir pada saat-saat genting. Dan tatkala ia nongol, saya pikir karena ada yang gawat di Munas Golkar---umpamanya ia mendadak membubarkan diri, kemudian akan segera diikuti oleh PPP dan PDI, demi supaya atmosfer penyelenggaraan negara kita ini akan sedikit-sedikit rasional dan tidak terlalu menyukai tari topeng.

Tentu saja maksudnya bubar tidak sembarang bubar, melainkan bubar karena memang diperlukan oleh metamorfosis demokrasi yang berlangsung dari dalam dirinya tanpa bisa dibendung oleh siapa pun. Soalnya kalau situasinya seperti sekarang ini, Harmoko bisa kerepotan kalau dihamburi pertanyaan-pertanyaan dari dalam kesunyian dirinya sendiri pada suatu malam yang jujur.

"Kamu ini benar-benar ketua? Maksudku, ketua dengan kewenangan dan kemandirian selayaknya seorang ketua? Kamu ini ketua atau masih diketuai? Apa yang kau hendak lakukan sebagai ketua? Seperti biasanya, mobilisasi untuk menyangga pusat kekuasaan yang menguasaimu? Atau apa? Pernah engkau merenung bahwa mungkin kita sedang mengalami zaman di mana kenaikan karier dalam kekuasaan bisa merupakan semacam penjara absurd yang membuat kita tak berani keluar dari sel-selnya, dan untuk mempertahankan agar kita tetap berada di situ terpaksa kita merakit---maaf---ketidakjujuran demi ketidakjujuran yang kita sambung-sambung; bahkan terkadang terpaksa merakit kekejaman, manipulasi dan---yang pasti kemunafikan? Mungkin kita sedang menghirup udara nilai-nilai aneh di mana yang kita sangka keberuntungan ternyata adalah balak?"

Tetapi ternyata kedatangan Sudrun tidak ada kaitannya dengan apa yang sedang berlangsung di Jakarta. Ia hanya mengganggu saya, meraih paksa dan merobek kertas di mesin ketik saya, kemudian ia buang ke tong sampah.

Padahal sungguh saya sudah terlanjur begitu serius menuliskan permasalahan-permasalahan ini dengan menggunakan sejumlah idiom yang saya sukai. Misalnya metafor bekicot: kancil sudah merasa mantap berlari sedemikian cepat, ternyata bekicot yang tampak pendiam dan lamban itu sudah lebih dulu sampai kembali di tempat yang dituju oleh kancil.

Kelak seusai perang Bharatayudha, setelah begitu banyak makhluk Tuhan sirna, Parikesit menapakkan kakinya ke singgasana---namun ternyata Prabu Yudhistira, raja yang dulu-dulu juga, tetap langgeng di kursinya. Generasi penerus Pendawa jangan 'GR', sebab kursi untuk ksatria nomer satu tidak rasional dihuni ksatria yang belum punya pengalaman sebagai nomer satu.

Begitu khusyuk dan asyik saya memaparkan pengembangan pikiran di mesin ketik. Tapi ya itu tadi: Sudrun datang mengobrak-abriknya!

"Kau jangan banyak memikirkan Presiden Negara, sebab ia sudah bisa berpikir sendiri, bahkan ia mampu mengendalikan pikiran semua orang termasuk kamu sebelum aku datang membubarkan konsentrasimu ini tadi," hardiknya.

"Yang kamu pikirkan adalah Presiden Bangsa, Presiden Rakyat…"

"Apa lagi itu Kiai?" saya memotong.

"Presiden mana pun, apalagi negara Pancasila, bukan hanya memiliki kecerdasan, tapi juga kearifan dan kerendahan hati," jawabnya. "Umpamanya untuk memaklumi bahwa tidak semua permasalahan rakyat atau bangsanya ia bisa tangani dan selesaikan. Apalagi ia tangani dan selesaikan secara adil, santun dan menghindari sejauh mungkin dari kerakusan yang pasti menyakiti hati rakyatnya. Bahkan, kalau mau jujur, jauh lebih banyak masalah rakyat yang ia tak bisa sentuh dibanding yang ia bisa sentuh."

"Kamu sendiri tahu dan mengalami dengan penuh keringat dan pengorbanan," lanjutnya, "betapa banyak persoalan bangsa di lapangan yang lembaga-lembaga negara tidak sanggup mengatasinya, bahkan terkadang lembaga negara justru menambah jumlah kepusingan bangsa, ditambah oknum aparat-aparat yang memperbesar jumlah kunang-kunang di sekitar kepala rakyat. Kamu mengerti betapa kesedihan hati rakyat, kekurangan hidup rakyat, kelemahan hati rakyat, keterdesakan posisi rakyat dalam berbagai hal---disembunyikan secara rapi di bilik-bilik rahasia perasaan mereka. Karena kalau sampai pengurus mendengarnya, ia malah dianggap memperhinakan negara. Jadi, kamu pasti juga mengerti, bahwa kepemimpinan nonformal tidak harus berlaku lokal atau regional, melainkan bisa melingkupi keseluruhan bangsa ini."

"Dan nyawamu yang hanya satu," ia meneruskan tanpa sedikit pun memberikan kesempatan kepada saya untuk menanggapi, "dengan nyawa dan kesempatan hidup yang nanti harus kau pertanggungjawabkan kepada Ia yang memiliki, cukuplah bagimu berkonsentrasi penuh saja memikirkan kemungkinan bagaimana di samping Presiden Negara, muncul juga Presiden Rakyat, Presiden Bangsa, Presiden Nonformal, Presidennya harapan rakyat, Presidennya rahasia batin rakyat, jangan biarkan sejarah berlangsung monoton seperti ini…"

Aku, mâsyâ-Allâh, sudah siap mendiskusikan tawarannya itu, tetapi ketika mulutku hendak menganga, Sudrun sudah sirna entah ke mana.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar