Kamis, 20 Agustus 2015

Jenderal (Purn.) Gadjah Mada

Tidak mungkin saya mengatakan "Tidak ada negara yang memiliki jenderal sebanyak yang dimiliki Indonesia…"---tetapi memang, sebagai orang awam, kesan saya adalah bahwa di Indonesia kok banyak sekali jenderal. Sering kali saya membaca koran atau menonton televisi dan tanpa sadar nyeletuk: "Lho, jenderal siapa lagi ini? Kok banyak bener orang besar…"

Alangkah hebatnya bangsaku. What a genius talented nation! Kalau seorang bisa menjadi jenderal, meskipun pol hanya tingkat brigadir, pasti dia adalah 'manusia seribu satu'---Ah kurang, kurang: 'manusia sejuta satu'. Dari satu juta orang hanya dia sendiri yang sanggup menjadi jenderal. Lainnya paling-paling jadi pedagang kamper, ustad, dosen, atau malah pengedar formulir sumbangan pembangunan masjid.

Betapa banyaknya jenderal, sehingga diperlukan geniusitas tersendiri untuk menghapalkan nama-namanya. Kemudian diperlukan extra extended memory capacity untuk menghapalkan pangkat dan jabatannya---apalagi jabatannya ini bergeser-geser berputar-putar berganti-ganti terus menerus begitu cepat berdasarkan wangsit yang turun dari ubun-ubun the supreme authority yang selalu sangat misterius, yang pola-pola policy-nya seakan-akan jelas namun susah diteorikan. Sedemikian susahnya diteoribakukan, sehingga begitu banyak pakar---entah dari Cornell, Monash atau Berkeley dari tahun ke tahun masih saja tidak beranjak dari tingkat 'kopral ilmu' dalam menilai potret power elite Indonesia.

Kalau 'jenderal ilmu', analisis dan prediksinya bertakaran sabda pendito ratu: Si Anu akan diganti, di-replace oleh si Ano, lantas si Ane akan ditaruh di situ sementara si Ani yang menduduki kursinya, lantas si Polan sendiri akan tidak bisa mempertahankan posisinya karena anu anu anu…

Tapi sudah sekian lama juga terbukti bahwa hampir tak ada sabdo pendito ratu. Yang terdengar hanya sabdo kopral ilmu.

Dan hari-hari ini, kopral-kopral semakin tampak kekopralannya. Namun justru karena itu kopral-kopral semakin keras berusaha naik pangkat. Seperti sedang mengotak-atik nomor buntut mereka menghitung-hitung, meramal-ramal, memistik-mistik: Kenapa Faisal Tanjung? Apa ini figuran temporer yang seperti sebelumnya? Kenapa tiga jabatan strategis yang itu selalu diisi oleh jenderal-jenderal yang tidak berasal dari satu grup? Pola dividing ini seolah-olah baku: Kamituwo itu dari grup Waru, sehingga Jogoboyo harus dari grup Dadap. Jogoboyo itu sendiri harus dibedakan dari centheng: yang satu punya wewenang namun tak punya kesakten, lainnya punya kesakten namun tak punya wewenang. Pokoknya harus ada sekat-sekat yang tidak memungkinkan pengkordinasian antara kekuatan dengan kemauan…"

Dan seterusnya, bisa ada seribu praduga. Tapi ia mungkin selalu hanya berhenti sebagai tembung jare, atau bahasa Arabnya qîla wa qîla, atau bahasa Maduranya seems to be atau according to, atau it might be, probably, tend to be… Istilah Guru Bahasa Indonesia: syahdan, alkisah, konon…

Padahal kalau para kopral ilmu akhirnya bisa menjadi jenderal ilmu yang sabdanya mumpuni, puncak otoritasnya ya hanya mempraktikkan-mempraktikkan belaka. Adapun realitas power elite yang diperkatakan itu ya tetap berlangsung sebagaimana yang 'Pendito Ratu'-nya menghendaki. 'Pendito Ratu' yang---sampai tingkat tertentu---masih hanya berjumlah satu.

Artinya, satu hal yang jelas: Sebanyak-banyak jenderal di Indonesia, namun kebanyakan dari mereka bukanlah seseorang yang punya ke-sabdopendito-an untuk menentukan apa yang paling mereka kehendaki atas diri mereka sendiri dalam lingkaran elite kekuasaan itu. Sejarah adalah deretan episode tentang siapa dalang siapa wayang, dan sejarah mencatat Ki Dalang menggenggam kaki tangan wayang-wayang untuk pada suatu hari dimasukkan ke dalam kotak. Baik kotak yang sungguh-sungguh hanya kotak yang pengap dan mati, maupun kotak yang umpamanya bernama Kedutaan Besar. Setiap jenderal berkata ke pada dirinya sendiri di dalam hati atau di antara rekan-rekannya sekelompok: "Kita harus berupaya menjadi dalang utama, dalang yang sungguh-sungguh dalang, bukan dalang yang didalangi…"

Sesudah seorang jenderal berkata tentang "kita", ia kemudian mungkin juga berkata tentang "aku dan kepada "aku"-nya sendiri diam-diam: "Kalau mungkin, aku akan berupaya menjadi dalang segala dalang, dalang yang mendalangi dalang-dalang di sekitarku, agar mereka mendalangi wayang-wayang…"

Seluruh negeri ini, seluruh muatan kehidupan nusantara ini, seluruh mekanisme kenegaraan bangsa ini, pada tingkat primer, sesungguhnya terletak di kandungan segumpal hati seseorang. Apakah hari ini Ibumu punya beras atau tidak, apakah adikmu bisa melanjutkan sekolah atau tidak, apakah tetanggamu bisa punya karier atau tidak, juga apakah jenderal ini dan itu bisa terus go public atau tidak---pada mulanya bersumber dari muatan segumpal hati seseorang. Alangkah malang.

Tentu saja kita semua, siapa saja, dari jenderal sampai penjual tempe, tetap mampu mendalangi satu hal dalam dirinya sendiri: yakni keinginan terhadap perubahan.

Kita tidak ditugasi oleh Tuhan Pencipta kita untuk menghabiskan kehidupan ini hanya buat menghapalkan nama jenderal-jenderal meskipun Depdikbud sudah susah payah mendidik anak-anak bangsa ini untuk menjadi penghapal-penghapal yang baik. Kita semua menginginkan perubahan-perubahan, seperti juga jenderal-jenderal menginginkan perubahan-perubahan. Jenderal-jenderal menjadi jenderal-jenderal tidaklah bertugas hanya untuk dipindah-pindah, digeser-geser, dilambungkan dan kemudian dicampakkan. Terlebih-lebih, tidak untuk dipindahkan demi rekayasa penyelamatan suatu kepentingan yang sesungguhnya bersifat sangat lokal, meskipun terletak di nukleus konstelasi. Kita bersedia pindah, naik atau bahkan turun, asal karena itu memang diperlukan oleh peta proses penyejahteraan seluruh bangsa kita.

Namun tidak demikian. Tampaknya yang terjadi tidak demikian. Jika terjadi penggeseran jabatan jenderal ini dan jenderal itu, substansinya adalah power game, bukan development 'game'. Bagi rakyat kebanyakan, penggeseran-penggeseran itu hanya bermakna semacam suspense kecil seperti yang terdapat dalam film-film yang sama sekali tidak terkait dengan kehidupan mereka. Bahkan, kalaupun ada kans untuk terkait, bisa-bisa berupa suatu konsluiting yang menimbulkan kebakaran dan mereka ikut terbakar. Power game, kapan saja, telah ditakutkan oleh berbagai kalangan pemimpin masyarakat akan bisa menimbulkan destruksi ke 'bawah'. Dan barangkali itulah yang menyebabkan hampir semua kekuatan sosial, organisasi-organisasi kemasyarakatan, bersikap ultra moderat terhadap power elite.

Maka tatkala Benny Moerdani meluncurkan bukunya secara besar-besaran dengan label Prajurit Negarawan: kesadaran dan rasa etimologi kita bagaikan pingsan. Betapa indahnya negeri ini kalau para prajurit, apalagi jenderal-jenderal, diproyeksikan juga untuk memiliki visi dan sikap kenegarawanan. Namun kita semua mengalami bagaimana yang sesungguhnya terjadi.

Seluruh pembicaraan ini pada hakikatnya bermuara pada satu pertanyaan mendasar: suksesi di kalangan kepemimpinan. ABRI itu apa urusannya dengan nasionalisme hari ini? Apakah ia relevan dan mengandung dialektika positif dengan keadaan rakyat?

Ki Mahapatih Gadjah Mada dulu juga mengalami ribut dan berdarahnya persaingan di lingkaran elite Majapahit, terlibat dalam intrik-intrik, kecemburuan, melayani situasi mbalelo atau tikaman di punggung. Namun ia bekerja untuk idealisme, meskipun bagi kerajaan-kerajaan yang ditaklukkannya: Gadjah Mada bukanlah pahlawan, melainkan penjajah, karena 'Nasionalisme Majapahit' tidak semena-mena bisa diterjemahkan menjadi 'Nasionalisme Nusantara'.

Gadjah Mada bahkan meneruskan perjuangan idealistiknya itu sampai tatkala usianya sudah 'sangat purnawirawan'. Ia sungguh-sungguh jenderal bagi rakyatnya, bukan bagi dirinya sendiri, apalagi untuk Ki Dalang yang mengaturnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar