Dalam bus antarkota yang tak habis-habisnya mendengungkan lagu-lagu Koes Plus, seorang karib saya, dalam perjalanan pulang dari Temu Teater Nasional di Solo, sambil membawa koran yang memuat rencana Pak Nasution ke Istana Merdeka, memojokkan saya secara tak sengaja untuk berdebat masalah keributan Kongres PDI di Medan. Padahal, baru saja kami terbuntu di tengah perdebatan lain yang agak aneh tentang perpecahan di majalah Horison.
"Kita hanya bisa bersatu ketika mengurusi masa silam," katanya. "Tapi untuk merundingkan masa depan, kita memerlukan kebencian, batu dan darah."
Yang ia sindir pasti PDI, bukan pemerintah atau siapa. Sebab dalam urusan dengan pemerintah, dalam banyak hal tak diperlukan batu, peluru atau darah. Batu hanya beterbangan di antara kekuatan yang relatif seimbang. Ketika memilih Soerjadi atau bukan, batu dapat kerajaan. Dan itu tidak diperlukan tatkala kita menentukan siapa Presiden RI. Sebab kalau di hadapan penguasa, kan tak ada kekuatan yang bisa mengimbanginya. Jadi tak diperlukan batu untuk dilemparkan. Cukup dengan satu kalimat dan tawaran tak kentara untuk dipangku, balon besar bisa langsung gembos dalam beberapa saat.
Namun demikian saya mencoba untuk meredam kemungkinan perdebatan ini. Saya berdiplomasi, "Dunia politik memang selalu kalah selangkah dibanding dunia kesenian. Sekurang-kurangnya karena masalah kesenian memang lebih simpel. Kaum seniman juga bertengkar, saling melotot atau dengki ketika mempertarungkan gagasan tentang mana yang indah, mana yang tidak, mana yang bagus mana yang jelek, mana yang cocok mana yang tidak relevan. Tetapi karena mereka kecapekan sebelum benar-benar saling timpuk batu, akhirnya diam-diam disepakati suatu komitmen psikologis untuk saling memuji saja satu sama lain---supaya stabilitas kesenian nasional terpelihara. Dan untuk kesenian, hal itu dimungkinkan. Sebab dalam kesenian jumlah kursi tak terbatas. Setiap seniman bisa menciptakan kursinya sendiri. Ini bedanya dengan partai politik atau birokrasi negara. Perkara ada yang menggelisahkan bahwa tradisi saling memuji itu merugikan budaya kreativitas, menurut saya ya biar saja. Memangnya di sebelah mana kehidupan bangsa kita ini bertemu? Politik Nasional? Pemikiran Demokrasi Pancasila? Musik pop? Pembaharuan pemikiran Islam yang berpusing-pusing seperti gangsingan itu? Atau apa?.... Jadi biar sajalah!"
"Bukan itu maksudku!" tukas karib saya itu. "Hampir segala mekanisme kependudukan yang diselenggarakan oleh bangsa kita tidak menghasilkan determinasi ke depan yang dewasa. Mentalitas demokrasi kita tidak semakin bertumbuh. Cinta kasih global di antara sesama bangsa saat ini misalnya hanya menggumpal ke Koes Plus, sebab masa silam dianggap tidak pernah sungguh-sungguh bisa merupakan ancaman. Pendidikan Sekolah, Pendidikan Sosial Kemasyarakatan, Pendidikan Kenegaraan, tidak menyiapkan kedewasaan atau apalagi toleransi, kesediaan untuk berbagai dan kearifan. Guru adalah Lurah, Wali kelas adalah Camat, Kepala sekolah adalah Bupati, Rektor adalah Gubernur. Mereka adalah bagian atau sendi dari jaringan kekuasaan. Mereka tidak terutama bertugas sebagai pendidik. Bahkan penilik-penilik sekolah banyak yang berlaku seperti patroli renten, menguras harta sekolah yang dikunjunginya, mengajak salah seorang guru ke toko-toko, menuding barang di etalase, dan kalau uang kas sekolah tersebut tidak disisihkan untuk membeli barang itu, konditenya buruk…."
"Kok sampai ke sekolah-sekolah segala?" saya memotong.
"Dengar dulu!" bentaknya, "Saya hanya ingin memberi ilustrasi bahwa di semua bidang dan setiap pendidikan: sangat banyak di antara kita yang bermain-main dengan nasib bangsa kita sendiri. Dan yang paling celaka adalah bahwa yang dimain-mainkan terutama adalah kekuasaan. Kamu pikir keributan di Medan itu apakah steril dari laboratorium King's assembler di pusat?"
"Memang siapa yang mikir begitu?" saya ganti tanya.
"Lho siapa tahu kamu berpikir begitu," ia melengos, "Politik itu sendiri adalah dunia hantu. Apalagi politik Indonesia, apalagi politik Melayu dan Jawa dan terlebih lagi ini politik Orde Baru. Kita jangan berhenti berpikir hanya pada polarisasi antara Kelompok Peralihan versus Kelompok 17. Di Indonesia ini segala sesuatunya bersifat multipolar. Terkadang ada makhluk yang seperti semangka, luarnya hijau dalamnya merah. Atau duren, luarnya keras berduri, dalamnya lunak, harum dan enak. Tapi jangan kaget kalau mendadak di balik merahnya semangka ternyata terdapat unsur hijau. Di balik keharuman isi duren termuat duri atau segala yang murni, bisa dalam waktu singkat menjadi tidak murni, karena tradisi kekuasaan bangsa kita hanya mengenal dua makhluk: kuda dan joki.
"Sekarang malah ke kuda….," saya nyeletuk lagi.
"Supaya kamu tidak gampang diperkuda!" ia melotot.
"Lho, saya tidak keberatan dijadikan kuda," jawab saya, "sebab dengan begitu saya menentukan akan saya bawa lari ke mana joki di punggung saya. Kan kaki saya yang bekerja. Kalau joki saya ingin mempekerjakan kakinya, ya saya akan lemparkan ia dari punggung saya. Ayo silakan kalau mau memperkuda saya!"
"Kalau itu namanya kuda memperkuda joki, blog!" matanya semakin terbelalak, "kamu melenceng lagi dari yang saya maksudkan. Begini lho. Karena orang suka bermain-main kekuasaan dan hanya mendayagunakan energi hidupnya kebanyakan untuk itu, maka yang akhirnya terjadi padanya adalah keserakahan dan kebodohan…."
"Ah, apa iya?" saya menyela, "Biasanya yang paling serakah dan paling memahami teori, metode dan praktik keserakahan adalah orang-orang pandai!"
"Itu kepandaian yang bodoh!"
"Apaan itu? Jangan beretorika untuk memutarbalikkan logika!"
"Dengar! Orang yang pandai memain-mainkan kekuasaan adalah orang yang paling tidak rasional di muka bumi. Bukankah kepandaian dan kebodohan ditakar dari tingkat rasionalitasnya?"
"Ya. Lantas"
"Sangat tidak rasional bahwa ada orang yang percaya bahwa ia memiliki kekuasaan dan lantas memain-mainkan kekuasaan itu tanpa pernah puas. Seorang pejabat diberi kewenangan oleh rakyat untuk mengurus tugas tertentu, tapi dari mana rakyat memperoleh dan memiliki kewenangan itu sehingga ia mungkin memberikannya kepada si pejabat? Sejak kapan manusia pernah punya kekuasaan, bahkan atas dirinya sendiri pun, dan apalagi atas orang lain, atas tanah, bumi, laut, dan pepohonan? Kapan manusia pernah memproduksi telinganya sendiri sehingga ia merasa berhak penuh untuk mendengarkan apa pun yang ia mau? Sejak kapan manusia sanggup menciptakan tangan dan kakinya sendiri sehingga ia merasa berhak mutlak untuk menggunakannya sesuai dengan yang dikehendakinya? Bahkan sejak kapan manusia merancang jantung dan hatinya sendiri sehingga ia merasa pernah hidup berkat kemauannya sendiri serta berhak untuk menghendaki apa pun? Engkau bergerak bukan karena engkau memiliki kesanggupan untuk bergerak, melainkan karena engkau dipinjami alat untuk bergerak dan diizinkan untuk bergerak pada ruang, waktu dan konteks tertentu yang belum tentu sesuai dengan keinginanmu sendiri untuk bergerak. Engkau hidup bukan karena sejak dari sono engkau berniat untuk hidup, dan engkau menghuni bumi ini bukan karena dulu engkau membelinya dan menyiapkan untuk perumnasmu; melainkan hanya karena engkau diselenggarakan oleh suatu subjek yang memiliki kehendak sejati. Tetapi engkau mempertengkarkan konsep hak milik dan meriuh-rendahkan dunia melalui ideologi-ideologi besar yang memeras umat manusia serta menumpas sangat banyak di antara mereka."
"Padahal engkau sekadar dipinjami segala sesuatu ini…."
Terus terang, kalau sudah masuk ceramah tasawuf begini mata saya segera mengantuk. Tapi ia meneruskan dengan asyik.
"Engkau melokalisir dirimu sendiri dari Allah, bahkan engkau menjaring jutaan hamba-Nya untuk engkau penjarakan di dalam lokalisasi itu. Hampir setiap lembaga yang engkau selenggarakan menjadi berupa lokalisasi. Sekolahan, parpol, pemerintahan, organisasi keagamaan dan segala macam institusi lainnya, menjadi rumah-rumah sempit lokalisasi yang tak engkau kasih jendela dan pintu. Universitas mestinya memproduk manusia universal, tapi ternyata yang dihasilkannya adalah manusia-manusia fakultatif. Parpol dan ormas tidak saja melokalkan kesadarannya namun bahkan setidaknya dipaksa oleh kekuasaan yang lebih besar untuk mendirikan sekat-sekat di dalam bilik lokal yang sudah sempit itu sehingga menjadi semakin sempit. Penghuni majalah Horison baru saling merasakan bau busuk karena filosofi manajemen yang tercipta tidak mencakrawala ke kosmos luas kesastraan dan kebudayaan melainkan menuju penyempitan dan lokalisasi ke lingkup jaringan, kelompok, ego dan kepentingan pihak-pihak. Temu teater di solo juga hanya menunjukkan dirinya sebagai sebuah lokal; teater Indonesia bukan sebuah kosmos kebudayaan. Bang Ali, Petisi 50, Pak Nas---yang sudah dolan ke istana---juga dituntut untuk tidak melokalisir idealisme demokrasi yang mereka sangga hanya melingkupi pada situasi subjektif ia atau mereka sendiri. Artinya urusan Pak Harto dan Pak Nas beserta lingkupnya tidak hanya menyangkut Pak Nas sendiri, melainkan setiap geraknya diharapkan punya makna dialektis dengan nasib rakyat banyak. Kalau tidak demikian, mereka bukan pejuang, mereka bukan orang rakyat…."
Sampai di kalimat itu, saya sudah benar-benar tertidur. Tapi celaka, karena karib saya yang bernama Kiai Sudrun dari Patangpuluhan ini ternyata bisa memasuki tidur saya dan terus mengusik telinga saya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar