Beriang-gembiralah. Mungkin sedikit merenung dan berprihatin, namun pompalah rasa syukur supaya hatimu berbinar-binar.
Kita sedang memasuki tahun 1994: tersenyumlah. Ringankan dadamu. Bergembira-ria, berjoget dan bersorak… Siapa pun engkau: loper koran, menteri, Ibu Warteg, mahasiswa, direktur, mantan caretaker kongres, termasuk "tunasusila" di lokalisasi maupun "tunawisma" di jalanan, juga siapa pun Anda di mana-mana pun. Beriang-gembiralah. Mungkin sedikit merenung dan berprihatin, namun pompalah rasa syukur supaya hatimu berbinar-binar.
Pada suatu hari Abu Nawas mencuri sebuah kursi di pasar, dengan cara mengambil paksa kursi itu dari salah seorang penjual ketika sedang diduduki. Tapi hold on, wait a minute…
Apa pula kok tiba-tiba Abu Nawas kita tokohkan di sini?
Masih tetap sangat banyak hal yang memusingkan di negeri ini selama tahun 1993. Memusingkan, jangankan bagi mereka yang nuraninya senantiasa berkhusyuk-khusyuk-ria dengan dambaan kebenaran dan keadilan. Sedangkan bagi kita yang tergolong maling-maling lokal maupun nasional, sedangkan bagi kita yang memperoleh panggung-panggung struktural untuk mementaskan kemanjaan politik dan ekonomi saja pun tahun 1993 cukup memusingkan. Kata sobat-sobat tercinta di lapangan-lapangan kumuh: "Barang haram saja susah didapat, apalagi barang halal."
Adapun terhadap segala apa pun yang bikin pusing, bangsa kita alias manusia kebudayaan Indonesia, memiliki cara-caranya sendiri yang klise sebagaimana orang-orang lain maupun yang khas kita.
Ada yang tak pernah putus asa menyelenggarakan upaya-upaya objektif untuk mengubah keadaan. Baik dengan transformasi-transformasi evolusioner maupun dengan cara "kebelet" dan revolusioner-rasial-lokal sambil menyumpah-nyumpah. Tetapi bisa juga kalau padi sedang kena hama sehingga tak ada yang dituangkan Pak-Pak Petani ke dalam lumbung serta ke dalam lesung buat ditumbuk, maka Mbok-Mbok Petani memukul-mukulkan alu mereka ke dasar dan pinggiran lesung, menjadi bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian itu menjadi musik. Ah, sedangkan burung-burung pun mengaransir lagu ketika berkicau: apalagi Mbok-Mbok Petani yang jelas merupakan makhluk manusia.
Kemudian karena Pak-Pak Petani juga manusia, maka keriangan dalam duka Mbok-Mbok itu mereka respons dengan tembang-tembang. Kemudian juga dengan dialog, entah apa pun kalimatnya, meneruskan dialog-dialog spontan mereka saat beristirahat di tepian sawah setiap siang hari saat Mbok-Mbok mengirimkan makanan dan minuman.
Bisa saja kemudian dari aransemen dan dialog itu tercipta sesuatu yang Anda barangkali akan menyebutnya "Ketoprak Lesung". Dan akhirnya kita semua, para penyandang hati petani di zaman yang modern ini juga sesekali mengaransir dan menyutradari secara tak sengaja sejumlah ketoprak lesung kontemporer.
Maksud saya, ada cara-cara subjektif yang pragmatis secara kejiwaan untuk menanggapi hal-hal yang bikin pusing dalam kehidupan. Problem-problem yang setia menemani kita sehari-hari, termasuk permasalahan-permasalahan nasional yang terkadang amat menegangkan---baik karena kita berdebar-debar oleh terbitnya harapan baru maupun karena kemapanan kita terancam---bisa kita antisipasi dengan menggunakan teknik maling lebih lanjut, dengan menerapkan kecurangan dan kekejaman, tapi bisa juga kita sublimasikan menjadi hiburan, pelarian sesaat, atau katarsis.
Oleh karena itu dalam situasi pergantian tahun ini kita tertawa-tertawa saja. Mungkin ada baiknya kita putar "lagu-lagu lama", yang Anda semua sudah sering mendengarkan. Lagu-lagu lama untuk kesegaran baru. Silakan Anda menyiapkan "kaset-kaset atau piringan hitam lama" untuk diputar, yang isinya mungkin sengaja menyindir diri kita sendiri. Bisa kisah-kisah nyata, anekdot-anekdot atau dongeng.
Saya sendiri, sebagaimana telah Anda dengarkan "intro"-nya, telah menyiapkan salah satu nomer dari album Abu Nawas yang maling di pasar.
Bayangkan betapa marahnya si penjual yang kursinya direbut olehnya. Dan betapa tololnya Abu Nawas itu sendiri. Ketololan pertama tentu saja dalam hal caranya berbuat jahat. Dan kedunguan berikutnya adalah karena dia bukan sekadar ulama: Abu Nawas adalah sufi masyhur di mana-mana.
Apalagi soal pencurian kursi ini bukan saja masalah sensitif, tapi bahkan Tuhan sendiri pun---dalam sebuah anekdot---merasa takut. Misalnya, kita korbankan saja Imelda Marcos dalam dongeng ini. Ketika berlangsung upacara orang-orang penting antre masuk ke surga, para malaikat dan Tuhan berdiri di gerbang surga menyongsong mereka. Satu per satu tokoh-tokoh itu masuk pintu surga, Tuhan selalu berdiri dari kursinya untuk mempersilakan mereka masuk. Tapi giliran Imelda, Tuhan tidak beranjak sedikit pun dari kursinya, sehingga para malaikat bingung dan tak tahan menanyakan hal itu kepada Beliau. Tuhan berbisik, "Ente jangan macem-macem. Kalau Ane berdiri, bisa diambilnya ini kursi!"
Dengan amat gampang Abu Nawas ditangkap oleh para penduduk pasar. Diteriaki dan hampir saja dipukuli---saat itu bahkan saya khawatir ada yang mengarahkan kamera ke arahnya, sehingga besok paginya dipasang di papan pasar dengan komentar kalimat "H. Abu Nawas, perebut kursi orang, alias maling", sehingga semua orang yang ke pasar akan mengetahui kasusnya. Sebab nasib seperti itu cukup lazim dialami oleh sejumlah pencuri sandal di masjid-masjid tertentu.
Abu Nawas diseret beramai-ramai ke Pos Keamanan Pasar. Langsung diinterogasi, tapi tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Para Satpam pusing dan hampir saja terseret emosi untuk memukulinya, seandainya saja mereka tidak takut kuwalat.
Singkat kata ia akhirnya dibawa ke Polsek. Masih membisu juga. Dinaikkan ke Polres, Polwil, Mabes Polisi: tetap diam juga. Membisunya Abu Nawas ini akhirnya menjadi isu nasional yang memenuhi koran-koran, sehingga akhirnya Raja turun tangan. Tapi hendaknya diketahui kasus pencurian kursi itu berlangsung di luar negeri, jadi Rajanya bukan Harun Al-Rasyid.
Tapi di hadapan Raja pun Abu Nawas tetap membisu. Sempat dicambuk punggungnya oleh pengawal Kerajaan atas perintah Raja, namun tetap juga membisu. Akhirnya Raja memasukkannya ke dalam ruangan khusus. Didampingi sejumlah pengawal, Raja mengerahkan kesabaran terakhirnya untuk menginterogasi Abu Nawas.
Kalau Raja memiliki kepekaan, semestinya tahu bahwa Abu Nawas bukan sekadar membisu, tapi juga tidak melakukan aktivitas komunikasi apa pun kecuali kediamannya. Hal itu baru diperkaya oleh sejumlah filosofi dan kearifan budaya yang canggih. Harap diketahui bahwa puncak kearifan budaya di Indonesia adalah ibarat bermain sepak bola dengan asas menang tanpa ngasorake. Filosofi ini baru diketahui oleh Raja tatkala Abu Nawas menganggukkan kepala sewaktu Raja bertanya: "Apakah kamu menghendaki komunikasi tertulis?"
Banyak sekali kalimat interogasi sejak di Pos Keamanan Pasar sampai di istana yang tidak disetujui dan tidak disukai oleh Abu Nawas, tapi di negeri itu ia tidak berani menggelengkan kepala. Banyak orang jatuh dan terpental nasibnya hanya karena ia terpeleset menggelengkan kepala. Dan ketika Raja memberinya kertas dan pena, Abu Nawas menulis: "Apakah Paduka menjamin keamanan saya sesudah saya berbicara?"
"Saya jamin!" jawab Sang Raja langsung. Tentu saja beliau tidak ingin Abu Nawas kelak "nyanyi" di pers internasional bahwa HAM tidak dijamin di negerinya. Apalagi tahun-tahun terakhir ini masyarakat internasional sedang sangat menyoroti soal itu.
Maka Abu Nawas menulis lebih lanjut: "Hamba tidak percaya kepada Paduka Raja."
Betapa terperangahnya sang Raja. "Tidak percaya bagaimana?" beliau membentak.
"Tidak percaya bahwa Raja sungguh-sungguh memperbolehkan saya berbicara," tulis Abu Nawas.
Sang Raja semakin jengkel, namun ditahannya. "Jangankan berbicara, buktinya menulis pun boleh. Ini negara merdeka, Abu Nawas!"
"Itu karena Paduka kebetulan berkenan dan membutuhkan saya berbicara atau menulis."
Hampir saja Raja membentak: "Jangan banyak mbacot!" tapi beliau sadar itu bertentangan dengan kalimat yang baru saja beliau ucapkan. Apalagi kalau beliau meneruskan---"Nanti saya gebug!" Maka yang beliau ucapkan adalah: "Silakan bicara apa saja maumu!"
Abu Nawas menulis: "Saya mau bicara tapi tidak hanya di depan Paduka dan pengawal, melainkan juga di hadapan semua menteri, sebab ini menyangkut masalah nasional."
Terpaksa Raja membawanya keluar dari ruang khusus, kembali ke balairung di mana para menteri dan para pejabat tinggi kerajaan lainnya berkumpul.
Abu Nawas pun berpidato: "Saya mencari di pasar dengan tiga tujuan. Pertama, ada pepatah mengatakan: 'Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang sapi melenguh'. Jadi saya sekadar menirukan kebiasaan tuan rumah…"
Betapa panas hati Raja dan para menteri. Tapi demi HAM, mereka berlagak tenang.
"Tujuan kedua saya adalah supaya bisa bertemu dengan Raja. Dan hanya dengan melakukan hal yang di pasar itulah saya memiliki kemungkinan untuk punya sentuhan dengan Paduka…"
Rasanya sudah pantas kalau mulut sufi gila ini diberangus.
"Dan ketiga, yakni tujuan saya yang terakhir, ialah ingin menunjukkan kepada Raja bahwa di pusat pemerintahan Paduka ini ada maling!"
Hampir saja Sang Raja mengangkat tangannya untuk menonjok mulut Abu Nawas. Tapi lagi-lagi ditahannya. Beliau berkata: "Tunjukkan mana malingnya! Kalau kamu bisa menunjukkan oknum berikut bukti konkretnya, kamu akan saya kasih hadiah. Tapi sebaliknya kalau tuduhanmu palsu, kamu layak digantung!"
"Saya akan tunjukkan, Paduka, tapi dengan dua syarat."
"Sebutkan apa syaratmu!"
"Pertama, sebelum saya menunjukkan siapa maling itu, saya minta setiap menteri di sini menunjuk juga maling yang diketahuinya. Kedua, sebagai balas jasa, begitu selesai saya melaporkan siapa maling itu, Paduka memperbolehkan saya untuk pergi dari negeri ini."
"Silakan!" Raja menjawab spontan karena demikian emosionalnya.
"O ya, jangan lupa soal janji hadiah itu, Paduka!"
"Jangan khawatir. Dan sekarang saya perintahkan setiap menteriku untuk menunjukkan satu maling saja setiap menteri!"
Ributlah para menteri. Tuding-menuding satu sama lain. Raja semakin pusing sehingga membentak: "Jangan ribut di sini! Kalian semua ke ruangan sebelah sana! Tuliskan maling itu satu per satu, sambil tunggu hukuman saya!"
Para menteri ramai-ramai berpindah ruangan sambil tetap ribut di antara mereka.
"Syarat sudah saya jalankan," kata Raja kepada Abu Nawas. Sekarang sebutkan siapa maling di istanaku yang kau maksud itu!"
Abu Nawas menjawab: "Saya sendiri, Paduka."[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar