Barangkali Golkar dulu dilahirkan karena kita merasa sangat membutuhkan sebuah kekuatan politik yang rasional dan kesanggupan me-manage negara ini secara lebih profesional.
Kita merasa sudah capek dengan tradisi romantisme, seperti oto-romantisme si Bung'. Pengalaman juga mampu melahirkan kesadaran bahwa kebangunan bangsa ini harus kita pahami secara lebih realistis. Seperti halnya impian tentang pluralisme masyarakat, sesungguhnya bisa kita coba dengan cara memasuki dari pintu kebutuhan yang mendasar, yaitu untuk bersama-sama saling menyejahterakan. Semua menyejahterakan semua.
Tidak nyaman untuk terus menerus menggagas dan menghidupi kemerdekaan yang dicapai dengan darah dan nyawa ini dengan parade-parade kesejahteraan retoris, subjektivisme sejumlah kelompok elite, serta penghayatan kenegaraan dan kebangsaan yang irasional.
Kita tidak bisa terus menerus dalam acuan-acuan 'perang dingin' yang memperjarakkan 'aku, kau dan dia', atau 'kami dan mereka'. Akan habis energi untuk setiap saat mengambil peran Aku Masyumi, Engkau PSI, Dia PKI atau PNI. Akan terlewat waktu dengan sia-sia kalau selalu saja kita meletakkan diri dalam kerangka Kami Jawa, Kalian Minang, dan Mereka Bugis. Sudah tiba waktunya untuk menerjemahkan pluralisme kebangsaan kita dengan satu kata: 'kita'.
Para pencari jejak cakrawala hari depan yang kemudian mendukuni Golkar itu mungkin merasa bahwa sebenarnya sudah agak terlambat untuk menancapkan aspirasi kenegarawanan dan gerakan manajemen kesejahteraan yang rasional-profesional. Kita sekarang bukan sekadar butuh 'menyingsingkan lengan baju', melainkan harus lebih dari itu: copot baju primordial itu, ganti dengan kostum nasionalisme yang menyejahterakan yang kita kerjakan bersama dengan sungguh-sungguh.
Masa lalu menunjukkan, bahwa tidak mungkin terus menerus kita mampu membohongi berjuta-juta bapak-ibu dan saudara-saudara kita sendiri dengan kegagahan retorika seolah-olah perut mereka bisa kenyang dengan dijejali kata-kata manis. Kita selalu mengasumsikan bahwa rakyat kita tergolong masyarakat yang mudah dihibur dengan nina-bobo atau dendang lagu-lagu manis impian omong kosong. Semua retorika tentu ada batasnya. Sekarang pantun sejenis yang diciptakan Orla tentang Malaysia dulu itu sebaiknya tidak lagi digunakan, sebagai alat tumbak cucukan kita dalam rangka mengkamuflase kegagalan pembangunan. Karena anak-anak kecil sekarang pun sudah bisa menyanyikan:
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak kita dari Godean
Siapa bilang rakyat kita lapar
Indonesia banyak makanan…
Entah berapa ratus ribu sedulur kita yang berdosa dan yang tak berdosa, yang kita bunuh sendiri di tahun 1965. Semua itu sudah cukup. Terserah bagaimana penggeseran-penggeseran mulut sejarah dalam menilai revolusi dahsyat bergelimang darah tersebut, juga terserah apakah penilaian di antara kita juga berbeda-beda. Tapi itu semua sudah cukup. Lagu nJer-Genjer telah terkubur oleh angin silam. Mungkin tinggal Balonku Ada Lima yang masih kontraversial.
"Meletus balon hijau….dor!"---hatiku sangat risau, karena balonku tinggal empat. Ndilalah yang meletus kok ya berwarna hijau. Ibarat Pancasila, yang meletus adalah yang 'hijau': Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun kemudian yang ternyata meletus adalah 'balon merah'.
Ah, interpretasi apaan ini… Tapi biar saja. Ada beribu tafsir berbeda atas kokok ayam saja pun. Yang satu bilang kukuruyuk, yang lainnya bilang kongkorongkong. Padahal yang pasti benar adalah bunyi menurut ayam itu sendiri, yang sama sekali tak bisa kita bunyikan, karena yang kita bunyikan adalah bunyi tafsir kita sendiri.
Biarlah. Orde Baru kita mulai dengan menomersekiankan beda-beda tafsir. Sudah cukup dengan memakai acuan dasar menurut pemerintah saja, tidak perlu repot-repot mendengar tafsir dari orang per orang, dan ternyata kita semua sangat kompak, yakni bahwa kita harus membangun bangsa ini, harus mengisi kemerdekaan dengan kesejahteraan yang lumrah sebagaimana bangsa-bangsa lain di muka bumi.
Pembangunan yang dimaksud tentulah bukan anekdot tentang "Pelaku Pembangunan yang utama adalah Umat Islam". Kalau dini hari tiba para muazin keras-keras melantunkan suara azan dengan pengeras suara, sehingga orang sekampung jadi bangun.
Azan itu tentulah termasuk Sunnah Rasul, meskipun pengeras suara tidak termasuk tradisi perilaku Nabi. Hanya saja, para ulama sepakat, meskipun pengeras suara bukan Sunnah Rasul, maka dianggap baik.
Itu juga biar saja. Yang penting kita sama-sama membangun. Para pakar, para ahli, para konseptor, para penggagas, para kreator, para pekerja, siapa saja---bersama-sama melakukan gugur gunung, kerja bakti bersama-sama untuk menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa. Dan untuk itu, Golkar adalah wadah utama kita.
Akan tetapi kemudian permasalahannya tidak sebersahaja itu. Akan tetapi kemudian kita tahu bahwa permasalahannya tidak sebersahaja itu. Akan tetapi kemudian kita semakin lama semakin capek untuk tahu sehingga sering pura-pura tidak tahu bahwa permasalahannya tidak sebersahaja itu. Strategi politik pembangunan dan pendekatan budaya pembangunan baru yang mewarnai lahirnya Golkar perlahan-lahan dihadang kembali oleh segala sesuatu yang semula dihindarinya. Segala sesuatu yang bahkan menjadi landasan konsepsional utama kenapa ia lahir.
Coba Anda ke lapangan. Mungkin harus melalui penjelasan antropo-sosiologis untuk memahami betapa bangsa kita sungguh-sungguh suatu Masyarakat Kostum Raya. Serta bahwa paternalisme budaya mereka ternyata jauh lebih serius, lebih sungguh-sungguh dan lebih mengakar dibanding yang bisa kita bayangkan atau kita takar melalui pendekatan ilmu-ilmu.
Kalau seorang Kiai memanjat pohon kelapa, setiap anggota jamaahnya juga akan memanjat pohon kelapa. Di satu pihak pola demikian bisa dipakai untuk mobilisasi pembangunan atau menjangkaukan kekuasaan. Tapi di lain pihak kecenderungan ini terbukti banyak menghambat kreativitas dan dinamika membangun.
Seorang Ustad muda coba masuk ke dalam atmosfer budaya paternalistik demikian di suatu daerah. Dengan berbagai cara ia mencoba mengurai situasi, membebaskan komunitas dari pertalian vertikal yang membabibuta. Sedemikian menariknya yang dilakukan sehingga akhirnya ia memperoleh banyak pengikut, dan semakin hari semakin membengkak saja. Sampai suatu hari mendadak ia menjumpai dirinya sebagai patron baru, yang tak kalah angkernya dibanding patron-patron tradisional yang ditumbangkannya. Dengan pilu ia menyaksikan siapa dirinya: pemimpin baru, panutan baru, idola baru, 'mesiah' baru, juragan baru, yang duduk angker di tengah kisaran mekanisme sektarianisme yang baru.
Golkar adalah sebuah 'sekte pembangunan' yang berwatak budaya macam itu. Kalau toh tak cukup ada muatan psikologis yang sama, maka ia pada hakikatnya terbukti mengalami sejumlah splits, deviasi dan distorsi yang bukan tidak serius dibandingkan dengan hendak apa sesungguhnya dulu ia lahir.
Mengapa mengalami keterpecahan kepribadian, pembelokan dan pelunturan, karena berkembang menjadi alat kekuasaan baru, menjadi 'kostum' baru yang bukannya mempersatukan kostum-kostum melainkan sungguh-sungguh menanggalkan kostum yang lain. Golkar tidak berjarak dengan kekuasaan. Golkar tidak berjarak dengan birokrasi negara. Ia menjadi 'pedang' yang memangkas berbagai jenis ideologi dan menghalalkan hanya satu ideologi---pada saat seharusnya ia berwatak memimpin proses akomodasi demokratis atas berbagai kecenderungan yang dimiliki oleh masyarakat kita---sambil tetap memelihara kesepakatan untuk sama-sama mengabdi kepada keseluruhan bangsa. Asas kebangsaan yang kemudian tercipta bukanlah kebhinekaan, melainkan keikaan. Realitas kenegaraan kita menjadi cukup hanya dirumuskan dengan jargon 'tunggal ika', sebab 'bhineka'-nya berwajah semu dan terpencil di balik sekam api sejarah.
Golkar mampu berkembang menjadi organisasi sipil yang berhasil membuktikan sejumlah efektivitas, sekurang-kurangnya untuk kepentingan yang dipanggulkan ke pundaknya. Golkar telah menjadi kekuatan sosial politik, bahkan sosial budaya, yang 'memiliki Indonesia' namun ia juga 'dimiliki' oleh berbagai kelompok pendekar yang---sudah, dan---selalu berupaya 'memiliki Indonesia'. Golkar kembali menjadi lapangan power game sebagaimana yang dulu menyebabkan ia lahir. Golkar sudah lama tidak mampu bertahan menjadi kebun gugur gunung bagi seluruh bangsa. Spooring and balancing ban dan rodanya sudah lama oleng: tidak bagi dirinya sendiri, namun bagi amanat kelahirannya semula. Ia merupakan edisi kesekian dari institusi sosial tradisional di negeri ini yang semakin hari semakin kurang relevan bagi situasi realistis rakyat kita.
Maka kini mungkin kita mendaur ulang obsesi itu, misalnya menggagas berdirinya Orde Golkar Baru.
Barangkali dari aspirasi semacam itu pula, kalau sekarang ABRI berinisiatif untuk 'bermain' di puncak gunung Golkar.
Akan tetapi, ABRI siapa gerangan sesungguhnya? Makhluk yang macam mana ia? Apakah hadis Rasul Muhammad saw. sedang berlaku kembali, meskipun---de facto---kalimatnya agak berubah begini: Athi'ullâha wa athi'ur rasûla wa ulil ABRI minkum…. (maaf, realitas kita memang berbunyi demikian). Taatilah Allah, taatilah Rasul dan taatilah ABRI.
So are you ready? Kalau saya sih: Ayu Laksmi atau Ayu Azhari saja.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar