Kolom Emha Ainun Nadjib yang terus menerus hadir di edisi DëTIK selalu mengambil isu-isu utama yang menjadi banner headline tabloid tersebut sebagai bahan bakunya. Karena itu ia bisa dianggap semacam tajuk dari tabloid yang berumur tak lebih dari dua tahun itu. Dari sini kita bisa mengatakan bahwa kolom-kolom Emha adalah bagian dari kerja jurnalisme.
Namun kalau menganggap Emha adalah bagian organis dari DëTIK juga meleset. Sama halnya, adalah naif untuk menganggap kolom-kolom Emha mewakili pandangan DëTIK atas semua isu yang berkembang di republik ini. Esai Emha, sebagaimana diketahui, telah bertebaran di segala media yang kemudian banyak dibukukan. Artinya, sebelum DëTIK memapankan format jurnalismenya, Emha telah menemukan format kolom-kolomnya terlebih dahulu. Sebaliknya, visi DëTIK pun tidak bisa direduksi hanya dengan membaca kolom-kolom Emha yang diberi banner Opini Plesetan (OPLëS).
Nampaknya lebih baik jika kita membicarakan keduanya secara serentak. Opini Plesetan tak akan hadir, atau minimal tidak akan menemukan formatnya secara maksimal, jika tidak disuplai dengan bahan baku memadai yang diperoleh dari kerja jurnalistik para wartawan. Sementara penyajian laporan utama DëTIK menjadi kurang menukik tanpa adanya titik substansial yang dicandra oleh Opini Plesetan. Perbedaan keduanya hanyalah terletak pada titik keberangkatan yang tidak sama dan tujuan yang berlainan.
Yang pertama adalah opinionated news; yang kedua adalah factual news. Opinionated news senantiasa berangkat dari subjektivitas penulis, sedangkan factual news berangkat dari pretensi untuk menemukan objektivitas. Persoalannya, di manakah batas antara fakta dan opini? Dan yang lebih penting, konsekuensi macam apa yang mengikuti pemisahan secara rigid antara keduanya?
Secara tradisional, disiplin jurnalisme memisahkan keduanya hampir mutlak, mengunggulkan fakta dan menomorduakan opini. Bagi wartawan fakta adalah sesuatu yang suci, harus disucikan dan dihormati---dengan cara mendepak keluar opini wartawan dalam penyusunan dan penulisan berita.
Yang dilakukan wartawan kemudian adalah memungut dan mengumpulkan fakta selengkap mungkin, merekonstruksikannya, lalu keluarlah apa yang dinamakan berita. Karena itu secara umum berita dipercaya sebagai realitas sosial yang dituliskan. Realitas sosial dalam tradisi konvensional jurnalisme, dianggap tunggal dan bersifat objektif. Objektivitas ini dapat diperoleh dengan menerapkan metode baku prinsip jurnalistik dan teknik penulisan yang standar.
Di sini muncul problem serius, seberapa rapat jarak antara realitas sosial yang berkembang terus-menerus dengan realitas sosial sebagaimana direpresentasikan oleh wartawan dalam lembaran-lembaran beritanya? Jika pengetahuan standar tentang seluk-beluk nilai berita atau kriteria penulisan yang baku dijadikan acuan wartawan untuk menulis, maka seberapa jauh ia meyakinkan kita bahwa technicalities tersebut menjamin tak ada bias yang muncul di sana? Pada gilirannya, pengetahuan yang kita peroleh dari surat kabar adalah sebenar-benar pengetahuan yang bisa dipegang untuk memahami dinamika lingkungan sekitar.
Tradisi panjang jurnalisme sarat dengan rekaman sejarah tentang upaya para wartawan untuk menghindari masuknya opini dalam berita. Prinsip-prinsip objektivitas, keseimbangan, akurasi yang senantiasa dipegang oleh wartawan menegaskan upaya tersebut. Namun bagi wartawan di Republik ini, sekadar menceritakan apa yang telah dan sedang terjadi pun ternyata masih membawa risiko.
Sekadar menuliskan perbedaan pendapat di kalangan pemerintahan para wartawan bisa dituduh mengadu domba, meskipun perbedaan tersebut ditemui senyatanya. Tuduhan semacam itu bisa berakibat fatal karena seolah-olah wartawan telah memakai frame subjektifnya---berarti mencampuradukkan antara fakta dan opini---ketika menyusun laporan jurnalistiknya. Pemakaian angle yang berbeda dengan versi resmi pemerintah dalam laporan jurnalistik juga tidak bisa leluasa dijalankan oleh wartawan Indonesia. Rezim pemisahan opini dan fakta, subjektivitas dan objektivitas, ujung-ujungnya dapat menjadi perangkap terhadap wartawan. Ia melahirkan dalih bahwa laporan jurnalistik yang memuat isu kontroversial dikerangkeng oleh subjektivitas wartawan.
Dengan segala keterbatasan semacam itu, tajuk bisa menempati posisi yang penting dalam halaman-halaman surat kabar. Pada titik ini pula kita bisa menempatkan Opini Plesetan Emha Ainun Nadjib sebagai pintu lain untuk mencoba memahami realitas sosial-politik-ekonomi-budaya yang sedang berkembang di negeri ini---yang sulit ditampung dalam format berita.
Jika laporan utama DëTIK secara terbatas mencoba memberikan outline tentang hubungan suatu fakta dengan fakta lain dalam realitas sosial, maka Opini Plesetan dapat secara lebih bebas memberikan interpretasi atas berlangsungnya sebuah peristiwa. Opini Plesetan, karena itu, sebenarnya merefleksikan sejumlah indikator: ia adalah fenomena DëTIK sekaligus merupakan fenomena jurnalisme Indonesia seumumnya.
Fenomena jurnalisme di Indonesia mendemonstrasikan secara jelas posisi inferior pers terhadap kekuasaan. Ketika negara secara sepihak memutuskan laju sebuah penerbitan, itu menunjukkan betapa pers tidak memiliki posisi tawar-menawar memadai saat berhadapan dengan kekuasaan. Namun lebih dari sekadar demonstrasi keperkasaan politik, negara senantiasa melakukan upaya yang jauh lebih sistematis.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an istilah-istilah semacam pers sebagai the fourth estate, the fourth branch of government, atau the fourth power---yang diindonesiakan menjadi pilar keempat demokrasi---kerap dikumandangkan. Namun memasuki periode 1980-an istilah-istilah tersebut semakin jarang dan menghilang dari wacana pidato para pejabat, bahkan dari para praktisi pers. Muncullah kemudian istilah pers sebagai mitra pemerintah. Apa makna pergeseran ini? Istilah pertama pada hakikatnya merujuk pada hubungan pers vis-a-vis pemerintah untuk membela kepentingan masyarakat. Sedangkan istilah kedua mendekati pola hubungan pers bersama pemerintah vis-à-vis masyarakat.
Parafrase di atas ingin mengatakan bahwa kekuasaan juga beroperasi di tingkat bahasa. Dalam dunia jurnalistik, bahasa adalah alat utama untuk menggambarkan dinamika realitas sosial. Sementara dari sudut yang berlainan, ternyata bahasa adalah pembentuk realitas. Kalau kita didera secara simultan dan terus-menerus dengan kata-kata mulia, slogan indah, atau ungkapan-ungkapan normatif, maka kita akan cenderung melihat dunia kata-kata itulah realitas nyata yang sedang kita hadapi dan jalani.
Problematik hubungan antara kata dan realitas sosial inilah yang menjadi mode dan bahkan concern utama tulisan-tulisan Emha dalam kumpulan kolom yang dibukukan ini.
Nampak di sini bahwa pada akhirnya kolom-kolom Emha pada akhirnya juga merupakan refleksi dari gejala sosial-politik-ekonomi Indonesia seumumnya. Dalam satu puisinya, Rendra mengatakan bahwa perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Dalam konteks jurnalisme lebih tepat dikatakan bahwa perjuangan adalah melawan kata dengan kata.
Kuskrido Ambardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar