Dalam dunia wayang, Togog memiliki peran yang unik sekaligus mengesalkan, khususnya dalam mengikuti perjalanan para tuan yang memiliki kecenderungan berbuat jahat dan curang. Pekerjaan utama Togog adalah mengingatkan tuannya tentang mana yang benar dan mana yang salah. Togog selalu melontarkan kritik, namun hanya ditampung tanpa pernah dipercaya dan dituruti. Atau, Togog adalah pemeran yang selalu tidak pernah dianggap penting dan tidak pernah dipatuhi anjuran-anjurannya, namun ia terus-menerus melontarkan kritik.
Buku ini tak hendak berbicara tentang Togog. Dalam kurun hampir satu setengah tahun---sejak tulisan pertama dalam buku ini muncul pada awal Maret 1993 (bertepatan dengan Sidang Umum MPR) hingga pertengahan tahun 1994---penulisnya mencoba mencermati situasi politik dan kultural yang berkembang di negeri ini. Kiprah PPP, Golkar, dan PDI mendapat porsi terbanyak dalam pembahasan. Disusul ihwal megaskandal Bapindo, mutasi di kalangan ABRI, Habibienomisc, ICMI, dan Petisi 50. Barulah kemudian kasus-kasus lepas tapi bernas---dari huru-hara Nipah, SDSB, Primadosa, babu, televisi, UU Lalu Lintas, hingga Madame D. Syuga---menjadi porsi bahasan terakhir. Buku ini sarat kritik-tajam atas ketimpangan sosial-ekonomi maupun dominasi politis dan kultural "kekuasaan". Uniknya, sang penulis dengan piawai membalut kritik-tajam tersebut dalam bingkai plesetan---peluru tak langsung ditujukan ke sasarannya, tetapi dibelokkan dahulu lewat metafor-metafor yang kaya makna dan jenaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar